Timpang tindih hukum dan keadilan di
Idonesia memicu pendangan masyarakat bahwa hukum di Indonesia “tajam ke bawah
tumpul ke atas” terkesan hukum di Indonesia tidak objektif, tidak adil dan
kurang tegas.
Kasus yang menimpa seorang nenek berusia
63 tahun di Situbondo Jawa Timur yang diduga mencuri kayu jati di perhutani,
terjerat hukuman delapan tahun penjara. Hukum tersebut sangat berat bagi nenek
Asyani yang sudah renta, di usia yang renta nenek berusia 63 tahun ini harus
menjalani hari-harinya dibalik jeruji besi selama delapan tahun.
Kasusu ini banyak menyita perhatian
masyarakat. Masyarakat seakan selalu dibuat bimbang oleh hukum di Indonesia
karena banyak kasusu-kasus yang terjadi di Negeri ini yang tak lepas dari hukum
akan tetapi hukum di Indonesia seakan tidak memprioritaskan keadilan. Kasus
yang menimpa nenek berusia 63 tahun, misalnya. Hukum ini sangat tajam bagi
masyarakat kecil dan miskin. Sementara para koruptor yang sangat merugikan
keuangan Negara dan secara tidak langsung membunuh ekonomi rakyat, hanya
mendapat hukuman beberapa tahun saja, bahkan lebih kecil dari pada hukuman yang
diberikan kepada rakyat kecil. Bukan itu saja bahkan MENKU HAM Yasonna H Laoly berencana
mengajukan remisi untuk para narapidana korupsi dan hendak merevisi Peraturan
Pemerintah (PP) Nomor 99 Tahun 2012 yang tak memperbolehkan narapidana,
terorisme, narkotika dan korupsi memperoleh remisi dan pembebasan bersyarat.
Jika Menku HAM Yasonna H Laoly mengajukan
remisi untuk para narapidana koruptor dengan berargumen karena remisi adalah
hak untuk setiap narapidana dan tak ingin ada diskriminatif, siapa pun itu.
Maka, apakah itu suatu keadilan hukum? Tentu, itu bukanlah keadilan hukum.
Koruptor sudah seharusnya dihukum dengan seberat-beratnya untuk memberikan efek
jera, atau minimal para koruptor dihukum dengan diambil semua asset-aset yang
dimilikinya untuk mengganti uang Negara yang telah dimakan, dan jabatannya
dilepaskan alias dipecat dari tugas sebagai wakil rakyat. Karena justru
merekalah yang merampas hak-hak rakyat. Tentu, secara tidak langsung mereka
telah melanggar HAM. Lantas, apakah adil jika remisi itu diberikan kepada
orang-orang yang telah merampas hak-hak rakyat? Tentu, sangat tidak adil.
Hukum yang adil bukan berarti hukum
yang diberikan kepada terdakwah disamaratakan semua. Akan tetapi, selayaknya
hukum yang diberikan para terdakwah memandang latar belakang terdakwa dan
memandang kondisi psikologis terdakwa. Seperti kasus yang menimpa nenek berusia
63 tahun dari Situbondo Jawa Timur, kondisi ekonomi keluarga nenek tersebut
yang terbilang miskin dan kondisi fisik yang memang sudah renta dan lemah
bahkan untuk menghadiri sidang pun beliau sering tidak hadir, kerana memang
kondisi fisik yang sudah lemah. Semestinya diberi keringan hukuman atau minimal
diperingatkan saja untuk memberikan efek jera jika memang terbukti bersalah.
Hukum dan remisi yang tepat dan adil
sudah semestinya diberikan kepada mesyarakat yang tersandung kausus hukum.
Namun para penegak hukum pun sudah kewajibannya untuk tidak sabjektif dalam
memberikan hukum, harus tegas dan adil tidak memihak siapa-siapa. Karena hukum
bukanlah barang yang bisa dijual belikan kepada siapa saja yang punya uang namun
tidak pada orang yang tidak punya uang. Hukum yang tepat diberikan pula dengan
cara yang tepat, kepada orang yang tepat dan dengan kebijakan yang tepat.
Kebijakan hukum yang tepat adalah dengan memandang latar belakang dan kondisi
psikologis masyarakat yang tersandung kasus hukum bukan memandang kepada
pangkat dan jabatan masyarakat yang tersandung kasus hukum.
Indonesia masih haus akan keadilan.
Indonesia hari ini sangat membutuhkan malaikat yang siap memihak, menolong dan
memperjuangkan hak-hak rakyat kecil. Banyak orang-orang pintar di negeri ini dan
saya kira itu sudah cukup, yang dibutuhkan Indonesia sekarang adalah malaikat
yang mempunyai sifat jujur dan mempunyai integritas tinggi dalam mengemban
amant juga berlaku adil dan tidak sabjektif dalam memberikan hukuman kapada
para tersangka, terlebih-lebih kepada para koruptor yang telah menjajah
Indonesia di era kemerdekaan ini. Indonesia masih terpuruk karena terjajah oleh
kelakuan para koruptor. Maling-maling kelas kakap di negeri ini tidak
sepantasnya mendapat remisi atau keringanan masa tahanan. Hendaknya penegak
hukum lebih tegas dan serius menangani para benalu yang menggerogoti negeri
sendiri (koruptor).
Kini keadilan seakan hanya sebatas
mimpi saja bagi masyarakat kecil. Masyarakat selalu diberi harapan-harapan
kosong. Keadilan menjadi barang yang amat mahal bagi masyarakat kecil namun
tidak bagi orang yang berpangkat dan mempunyai kedudukan jabatan. Hukum dan
keadilan seakan tidak hidup berdampingan lagi di negeri ini. Keadilan sudah
semestinya menjadi hak bagi setiap individu masyarakat namun keadilan juga
harus berdasarkan kebijakan-kebijakan yang tepat, tidak serta merta hukum di
sama ratakan dengan tidak memandang kondisi masyarakat baik dari segi latar
belakang maupun psikologis.
Faktanya, pada awal tahun 2012 seorang
kakek berusia 66 tahun bernama Rawi asal Sulawesi Selatan, terancam dihukum 5
tahun penjara hanya didakwa mencuri segenggam merica. Dan banyak lagi kasus-kasus
lainnya yang dari rakyat kecil. Bukankah ini termasuk diskrimatif kepada rakyat
kecil nan jelata? Tentu, seperti itulah fakta hukum di negeri ini,
mendiskriminasi rakyat kecil. Rakyat kecil jadi menyimpulkan bahwa hukum di
negeri ini “tajam ke bawah, tumpul ke atas,” karena keadilan menjadi hal yang
langka bagi mereka yang susah dicari ke mana-mana, bahkan bisa jadi susah
ditemukan.
Cirebon,
19 Maret 2015
Oleh:
Achmad Irfa’i
Tidak ada komentar:
Posting Komentar