Kamis, 19 Maret 2015

HUKUM DAN REMISI YANG TEPAT DAN ADIL



            Timpang tindih hukum dan keadilan di Idonesia memicu pendangan masyarakat bahwa hukum di Indonesia “tajam ke bawah tumpul ke atas” terkesan hukum di Indonesia tidak objektif, tidak adil dan kurang tegas.

            Kasus yang menimpa seorang nenek berusia 63 tahun di Situbondo Jawa Timur yang diduga mencuri kayu jati di perhutani, terjerat hukuman delapan tahun penjara. Hukum tersebut sangat berat bagi nenek Asyani yang sudah renta, di usia yang renta nenek berusia 63 tahun ini harus menjalani hari-harinya dibalik jeruji besi selama delapan tahun. 

            Kasusu ini banyak menyita perhatian masyarakat. Masyarakat seakan selalu dibuat bimbang oleh hukum di Indonesia karena banyak kasusu-kasus yang terjadi di Negeri ini yang tak lepas dari hukum akan tetapi hukum di Indonesia seakan tidak memprioritaskan keadilan. Kasus yang menimpa nenek berusia 63 tahun, misalnya. Hukum ini sangat tajam bagi masyarakat kecil dan miskin. Sementara para koruptor yang sangat merugikan keuangan Negara dan secara tidak langsung membunuh ekonomi rakyat, hanya mendapat hukuman beberapa tahun saja, bahkan lebih kecil dari pada hukuman yang diberikan kepada rakyat kecil. Bukan itu saja bahkan MENKU HAM Yasonna H Laoly berencana mengajukan remisi untuk para narapidana korupsi dan hendak merevisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99 Tahun 2012 yang tak memperbolehkan narapidana, terorisme, narkotika dan korupsi memperoleh remisi dan pembebasan bersyarat. 

            Jika Menku HAM Yasonna H Laoly mengajukan remisi untuk para narapidana koruptor dengan berargumen karena remisi adalah hak untuk setiap narapidana dan tak ingin ada diskriminatif, siapa pun itu. Maka, apakah itu suatu keadilan hukum? Tentu, itu bukanlah keadilan hukum. Koruptor sudah seharusnya dihukum dengan seberat-beratnya untuk memberikan efek jera, atau minimal para koruptor dihukum dengan diambil semua asset-aset yang dimilikinya untuk mengganti uang Negara yang telah dimakan, dan jabatannya dilepaskan alias dipecat dari tugas sebagai wakil rakyat. Karena justru merekalah yang merampas hak-hak rakyat. Tentu, secara tidak langsung mereka telah melanggar HAM. Lantas, apakah adil jika remisi itu diberikan kepada orang-orang yang telah merampas hak-hak rakyat? Tentu, sangat tidak adil.

            Hukum yang adil bukan berarti hukum yang diberikan kepada terdakwah disamaratakan semua. Akan tetapi, selayaknya hukum yang diberikan para terdakwah memandang latar belakang terdakwa dan memandang kondisi psikologis terdakwa. Seperti kasus yang menimpa nenek berusia 63 tahun dari Situbondo Jawa Timur, kondisi ekonomi keluarga nenek tersebut yang terbilang miskin dan kondisi fisik yang memang sudah renta dan lemah bahkan untuk menghadiri sidang pun beliau sering tidak hadir, kerana memang kondisi fisik yang sudah lemah. Semestinya diberi keringan hukuman atau minimal diperingatkan saja untuk memberikan efek jera jika memang terbukti bersalah.

            Hukum dan remisi yang tepat dan adil sudah semestinya diberikan kepada mesyarakat yang tersandung kausus hukum. Namun para penegak hukum pun sudah kewajibannya untuk tidak sabjektif dalam memberikan hukum, harus tegas dan adil tidak memihak siapa-siapa. Karena hukum bukanlah barang yang bisa dijual belikan kepada siapa saja yang punya uang namun tidak pada orang yang tidak punya uang. Hukum yang tepat diberikan pula dengan cara yang tepat, kepada orang yang tepat dan dengan kebijakan yang tepat. Kebijakan hukum yang tepat adalah dengan memandang latar belakang dan kondisi psikologis masyarakat yang tersandung kasus hukum bukan memandang kepada pangkat dan jabatan masyarakat yang tersandung kasus hukum.

            Indonesia masih haus akan keadilan. Indonesia hari ini sangat membutuhkan malaikat yang siap memihak, menolong dan memperjuangkan hak-hak rakyat kecil. Banyak orang-orang pintar di negeri ini dan saya kira itu sudah cukup, yang dibutuhkan Indonesia sekarang adalah malaikat yang mempunyai sifat jujur dan mempunyai integritas tinggi dalam mengemban amant juga berlaku adil dan tidak sabjektif dalam memberikan hukuman kapada para tersangka, terlebih-lebih kepada para koruptor yang telah menjajah Indonesia di era kemerdekaan ini. Indonesia masih terpuruk karena terjajah oleh kelakuan para koruptor. Maling-maling kelas kakap di negeri ini tidak sepantasnya mendapat remisi atau keringanan masa tahanan. Hendaknya penegak hukum lebih tegas dan serius menangani para benalu yang menggerogoti negeri sendiri (koruptor).

            Kini keadilan seakan hanya sebatas mimpi saja bagi masyarakat kecil. Masyarakat selalu diberi harapan-harapan kosong. Keadilan menjadi barang yang amat mahal bagi masyarakat kecil namun tidak bagi orang yang berpangkat dan mempunyai kedudukan jabatan. Hukum dan keadilan seakan tidak hidup berdampingan lagi di negeri ini. Keadilan sudah semestinya menjadi hak bagi setiap individu masyarakat namun keadilan juga harus berdasarkan kebijakan-kebijakan yang tepat, tidak serta merta hukum di sama ratakan dengan tidak memandang kondisi masyarakat baik dari segi latar belakang maupun psikologis.

            Faktanya, pada awal tahun 2012 seorang kakek berusia 66 tahun bernama Rawi asal Sulawesi Selatan, terancam dihukum 5 tahun penjara hanya didakwa mencuri segenggam merica. Dan banyak lagi kasus-kasus lainnya yang dari rakyat kecil. Bukankah ini termasuk diskrimatif kepada rakyat kecil nan jelata? Tentu, seperti itulah fakta hukum di negeri ini, mendiskriminasi rakyat kecil. Rakyat kecil jadi menyimpulkan bahwa hukum di negeri ini “tajam ke bawah, tumpul ke atas,” karena keadilan menjadi hal yang langka bagi mereka yang susah dicari ke mana-mana, bahkan bisa jadi susah ditemukan.

Cirebon, 19 Maret 2015
Oleh: Achmad Irfa’i

Tidak ada komentar:

Posting Komentar