Jumat, 02 September 2016

Hukum Qisas Untuk Rasulullah

Suara merdu sahabat bilal berkumandang di balik masjid Rasulullah. memcahkan kesunyian di ujung fajar shidiq. sekali-kali terdengar “Assholatu khoerun minan  nauum, assholatu khoerun minan nauum”. Dari kalimat yang diucapkan. Suara panggilan itu menembus hingga ke rumah-rumah para sahabat.

Mereka berdatangan memenuhi panggilan itu dan berbondong-bondong menuju ke masjid. Ada dari golongan kaum Anshor dan juga Muhajirin mulai memadati masjid, sambil sesekali menunggu Rasulullah menyelesaikan sholat sunnahnya, mereka melakukan sholat sunnah dua rokaat.

Melihat Rasulullah selesai melaksanakan sholat sunnah, sahabat bilal bergegas berdiri dan iqomah sebagai tanda sholat akan segera dilaksanakan. Rasulullah sebagai pemimpin sholat dari para jama’ah. Keheningan mulai menyelimuti, mereka tenggelam dalam kekhusyuan munajat. Hanya terdengar lantunan-lantunan ayat yang dibacakan oleh Rasulallah, hati para jamaah sesekali bergetar mendengar ayat-ayat yang menceritakan adzab. Sebagian tak bisa menahan air mata mendengar ayat-ayat itu.

Rasulullah menengokkan kepala ke kanan dan ke kiri sambil mengucapkan salam. Disusul para jamaah yang berada di belakangnya, menandakan sholat telah selesai. Sejalan kemudian Rasulullah menengadahkan kedua tangan setinggi pundak dan memanjatkan permohonan kepada Tuhannya. Kalimat-kalimat hikmah yang dipanjatkan Rasulullah kepada Tuhannya, memberikan energi positif pada hati para sahabat.

Nabi beranjak berdiri dari pengimamannya dan naik mimbar. Suaranya basah, menyenandungkan puji dan kesyukuran kepada Allah yang Maha Pengasih. Senyap segera saja datang. Mulut sahabat tertutup rapat. Semua menajamkan pendengarannya menuntaskan rasa rindu kepada suara sang Nabi. Semua menyiapkan hati untuk disentuh kalimat-kalimat hikmah dari Nabi “Wahai orang-orang Islam! Saya adalah seorang Nabi bagimu, saya sebagai penasihat bagimu, saya sebagai orang yang mengajak kepada Allah dengan izinNya, saya bagai saudara kandungmu dan sebagai ayah yang amat menyayangi anaknya”. Nabi diam sejenak dan melanjutkan khutbahnya, “Wahai sahabat, kalian tahu umurku tak lagi panjang. Siapakah di antara kalian yang pernah merasa teraniaya olehku? Bangkitlah sekarang untuk mengabil kisas, jangan kau tunggu hingga kiamat menjelang, Karena sekarang itu lebih baik.”

Semua yang hadir terdiam. Semua mata menatap lekat Nabi yang tampak lemah dan pucat. Tak akan pernah ada dalam benak mereka perilaku nabi yang janggal. Apapun yang dilakukan Nabi, selalu saja indah. Segala hal yang diperintahkannya, selalu membuihkan bening saripati cinta. Mereka tak akan rela sampai kapan pun, ada yang menyakitinya meski hanya secuil jari kaki. Apa pun akan digadaikan untuk membela beliau.

Melihat semua terdiam, Nabi mengulang lagi ucapannya. Kali ini suarnya terdengar sedikit lebih keras. Masih saja para sahabat tertunduk diam. Hingga ucapan ketiga kali, seorang laki-laki berdiri menghadap Nabi. Dialah Ukasyah Ibnu Muhsin.

“Ya Rasulullah! Aku tebus engkau dengan ayah dan ibuku. Ya Rasulullah! Seandainya engkau tidak bersumpah berkali-kali pada kami semua, saya tidak akan menghadapmu.” Tegas Ukasyah di hadapan Rasulullah.

 “Ya Rasulullah! Dulu saya pernah bersamamu di perang badar. Untaku melewati untamu dan saya turun dari untaku untuk menghampirimu sampai pahaku berdekata dengan pahamu dan engkau melucutkan cambukmu kepada untamu agar untamu berjalan lebih cepat. Namun sesungguhnya engkau memukul lambungku, aku tidak tahu apakah itu sengaja memukulku atau engkau hendak memukul untamu?” sambung Ukasya dengan jelas. Kemudian Rasulullah menjawab, “tidak mungkin hai Ukasyah, jika seorang utusan Allah tidak sengaja memukul.”

Nabi menengok kearah bilal, dengan nada tegas beliau memerintahkan bilal untuk datang ke rumah putri tercinta Rasulullah, “Hai Bilal! Pergilah ke rumah Fatimah dan suruh dia mengambil cambukku.” Tampak keengganan menyelimuti Bilal. Langkahnya terayun begitu berat. Ingin sekali ia menolak perintah itu. Ia tidak ingin cambuk yang nanti dibawanya melecut di tubuh sang kekasih. Namun ia juga tak ingin mengecewakan Rasulullah.

Sesampai di rumah putri Rasulullah, ia mengetuk-ngetuk pintu beberapa kali, tampak suara di dalam rumah bertanya, “siapa yang ada di balik pintu?”. Dengan sigap Bilal menjawab “aku Bilal, aku diperintahkan oleh Rasulullah untuk mengambil cambuk.” Fatimah bersegera mengambil cambuk sebelum membukakan pintu untuk bilal. Sejurus kemudian ia membukakan pintu untuk Bilal dan menyerahkan cambuk yang dimaksud ayah tercinta, “Hai Bilal! Apa yang akan ayahku lakukan dengan cambuk ini?” Air mata Bilal pun menetes sebelum ia menjawab pertanyaan putri Rasulullah, “Ayahmu akan memberikan hukum kisas untuk diri sendiri.” Jawab Bilal dengan nada pela dan tertunduk. “Hai Bilal! Siapa orang yang paling baik hatinya dari pada Rasulullah yang akan mengkisas beliau?” Tanya Fatimah dengan cucuran air mata di hadapan Bilal. Bilal tidak menjawab pertanyaan putri Nabi, ia langsung bergegas menuju masjid.

Sejalan kemudia ia sampai di masjid dan menghampiri Rasulullah dengan sekujur badan bergetar, agaknya ia enggan memberikan cambuk itu kepada Rasulullah. Namun ini adalah perintah Rasulullah ia tak ingin membangkang dari perintah orang yang sangat dicintainya. Terpaksa ia menyerahkan cambuknya pada Rasulullah dengan kedua tangan yang bergetar dan air mata yang berlinang di ke dua bola matanya. Tidak lama cambuk itu berpindah ke tangan Ukasyah. Masjid seketika mendengung seperti sarang lebah.

Sekonyong-konyong, melompatlah dua sosok dari barisan terdepan, melesat maju. Yang pertama berwajah sendu, janggutnya basah oleh air mata yang menderas sejak dari tadi. Dialah Abu Bakar. Dan yang ke dua, sosok pemberani, yang ditakuti para musuh di medan pertempuran yaitu; Umar Bin Khottob. Dengan gemetar mereka berkata, “Hai Ukasyah! Kami di hadapanmu, pukulah kami berdua sesuka yang kau mau. Kisaslah kami, jangan sekali-kali kau kisas Rasulullah.”

“Duduklah kalian, hai sahabatku. Allah telah mengetahui kedudukan kalian berdua,” Nabi member perintah secara tegas.

Kedua sahabat itu pun lunglai. Langkahnya gontai surut menuju tempat duduk semula. Sorot mata keduanya memandang Uksyah yang sigap memegang erat cambuk untuk dipukulkan kepada Rasulullah. Agaknya mereka berdua memandang dengan penuh permohonan agar Ukasyah membatalkan niatnya mengkisas Rasulullah. Ukasyah tidak terpengaruh dengan kedua sahabat itu

Melihat Abu Bakar dan Umar duduk kembali, Ali bin Abi Thalib tidak tinggal diam. Berdirilah ia di hadapan Ukasyah dengan gagah berani, “Hai Ukasyah! Selama hidupku selalu di sisi Nabi, tidaklah baik hatiku, jika engkau mengkisas nabi sedangkan aku membiarkannya. Inilah punggungku, dan inilah perutku. Pukulah dan kisaslah aku sebanyak yang kau mau!”

“Hai Ali! Allah telah mengetahui derajatmu dan niatmu. Duduklah!” kembali ucap Rasulullah.

Kemudian tampil juga kedua cucu kesayangan Nabi. Hasan dan Husain. “Hai Ukasyah! Engkau tahu kami kakak beradik. Kamilah cucu Rasulullah. Mengkisas kami sama halnya engkau mengkisas Rasulullah. Maka kisaslah kami, hai Ukasyah!”

Tetapi sama seperti sebelumnya, Nabi menegur cucunya. “Wahai penyejuk hatiku, aku tahu kecintaan kalian kepadaku. Duduklah kalian berdua!”

Masjid kembali ditelan senyap. Banyak jantung yang kian berdegup keras. Semua menahan nafas. Ukasyah tetap tegap menghadap Rasulullah. Kini tidak ada lagi yang berani berdiri untuk menghalangi kisas Ukasyah kepada Rasulullah.

“Hai Ukasyah! Jika kau tetap berhasrat untuk mengkisasku. Inilah ragaku dan kisaslah aku!” nabi selangkah mendekati Ukasyah.

“Hai Rasulullah! Ketika kau memukulku aku dalam keadaan tak memakai baju.” Seru Ukasyah dengan nada meminta.

Maka tanpa berbicara, Nabi langsung melepaskan gamisnya yang telah memudar. Dan tersingkaplah tubuh suci Rasulullah. Seketika pekik takbir menggema. Semua yang hadir menangis pedih. seakan tidak ingin melihat langsung orang yang sangat dicintainya dikisas di depan matanya.

Melihat tegap badan manusia yang “maksum” itu, ukasyah langsung melepaskna cambuk dan spontan menghambur ketubuh Nabi. Sepenuh cinta direngkuhnya Nabi, begitu mesra. Gumpalan kerinduan yang mengkristal kepada beliau, dia tumpahkan saat itu. Uksayah menangis gembira. Ukasyah bertasbih memuji Allah. Ukasyah berteriak haru, gemetar bibirnya berucap sendu. “tebusanmu jiwaku ya rasulullah, siapakah yang sampai hayi mengkisas manusia sepertimu? Aku hanya berharap tubuhku melekat dengan tubuhmu hingga Allah dengan keistimewaan ini menjegaku dari sentuhan api neraka”

Dengan tersenyum, Nabi berkata: “ketahuilah wahai manusia, siapa yang ingin melihat penduduk surge, maka lihatlah pribadi orang ini.”

Ukasyah langsung tersungkur dan bersujud memuji Allah. Sedangkan yang lain segera bangun dan bergegas menuju Ukasyah berebut mencium Ukasyah. Pekik takbir menggema kembali. “wahai Ukasyah, berbahagialah engkau mendapat derajat yang tinggi dan menemani Rasulullah di surag.”

Allah A’lam

Dilansir dari kitab Durroh Annashihin, Karya Utsman Bin Hasan Bin Ahmad Assyakir Al-Khubawi

Terjemah oleh: Ach. Irfa’i

Tidak ada komentar:

Posting Komentar