Hukum Qisas Untuk Rasulullah
Suara merdu sahabat bilal berkumandang di balik masjid Rasulullah. memcahkan
kesunyian di ujung fajar shidiq. sekali-kali terdengar “Assholatu khoerun
minan nauum, assholatu khoerun minan
nauum”. Dari kalimat yang diucapkan. Suara panggilan itu menembus hingga ke
rumah-rumah para sahabat.
Mereka berdatangan memenuhi panggilan itu dan berbondong-bondong
menuju ke masjid. Ada dari golongan kaum Anshor dan juga Muhajirin mulai
memadati masjid, sambil sesekali menunggu Rasulullah menyelesaikan sholat
sunnahnya, mereka melakukan sholat sunnah dua rokaat.
Melihat Rasulullah selesai melaksanakan sholat sunnah, sahabat
bilal bergegas berdiri dan iqomah sebagai tanda sholat akan segera dilaksanakan.
Rasulullah sebagai pemimpin sholat dari para jama’ah. Keheningan mulai
menyelimuti, mereka tenggelam dalam kekhusyuan munajat. Hanya terdengar
lantunan-lantunan ayat yang dibacakan oleh Rasulallah, hati para jamaah
sesekali bergetar mendengar ayat-ayat yang menceritakan adzab. Sebagian tak bisa
menahan air mata mendengar ayat-ayat itu.
Rasulullah menengokkan kepala ke kanan dan ke kiri sambil
mengucapkan salam. Disusul para jamaah yang berada di belakangnya, menandakan
sholat telah selesai. Sejalan kemudian Rasulullah menengadahkan kedua tangan
setinggi pundak dan memanjatkan permohonan kepada Tuhannya. Kalimat-kalimat
hikmah yang dipanjatkan Rasulullah kepada Tuhannya, memberikan energi positif
pada hati para sahabat.
Nabi beranjak berdiri dari pengimamannya dan naik mimbar. Suaranya
basah, menyenandungkan puji dan kesyukuran kepada Allah yang Maha Pengasih.
Senyap segera saja datang. Mulut sahabat tertutup rapat. Semua menajamkan
pendengarannya menuntaskan rasa rindu kepada suara sang Nabi. Semua menyiapkan
hati untuk disentuh kalimat-kalimat hikmah dari Nabi “Wahai orang-orang
Islam! Saya adalah seorang Nabi bagimu, saya sebagai penasihat bagimu, saya
sebagai orang yang mengajak kepada Allah dengan izinNya, saya bagai saudara
kandungmu dan sebagai ayah yang amat menyayangi anaknya”. Nabi diam sejenak
dan melanjutkan khutbahnya, “Wahai sahabat, kalian tahu umurku tak lagi
panjang. Siapakah di antara kalian yang pernah merasa teraniaya olehku?
Bangkitlah sekarang untuk mengabil kisas, jangan kau tunggu hingga kiamat
menjelang, Karena sekarang itu lebih baik.”
Semua yang hadir terdiam. Semua mata menatap lekat Nabi yang tampak
lemah dan pucat. Tak akan pernah ada dalam benak mereka perilaku nabi yang
janggal. Apapun yang dilakukan Nabi, selalu saja indah. Segala hal yang diperintahkannya,
selalu membuihkan bening saripati cinta. Mereka tak akan rela sampai kapan pun,
ada yang menyakitinya meski hanya secuil jari kaki. Apa pun akan digadaikan untuk
membela beliau.
Melihat semua terdiam, Nabi mengulang lagi ucapannya. Kali ini
suarnya terdengar sedikit lebih keras. Masih saja para sahabat tertunduk diam.
Hingga ucapan ketiga kali, seorang laki-laki berdiri menghadap Nabi. Dialah
Ukasyah Ibnu Muhsin.
“Ya Rasulullah! Aku tebus engkau dengan ayah dan ibuku. Ya
Rasulullah! Seandainya engkau tidak bersumpah berkali-kali pada kami semua,
saya tidak akan menghadapmu.” Tegas
Ukasyah di hadapan Rasulullah.
“Ya Rasulullah! Dulu saya
pernah bersamamu di perang badar. Untaku melewati untamu dan saya turun dari
untaku untuk menghampirimu sampai pahaku berdekata dengan pahamu dan engkau melucutkan
cambukmu kepada untamu agar untamu berjalan lebih cepat. Namun sesungguhnya
engkau memukul lambungku, aku tidak tahu apakah itu sengaja memukulku atau
engkau hendak memukul untamu?” sambung Ukasya
dengan jelas. Kemudian Rasulullah menjawab, “tidak mungkin hai
Ukasyah, jika seorang utusan Allah tidak sengaja memukul.”
Nabi menengok kearah bilal, dengan nada tegas beliau memerintahkan
bilal untuk datang ke rumah putri tercinta Rasulullah, “Hai Bilal! Pergilah
ke rumah Fatimah dan suruh dia mengambil cambukku.” Tampak keengganan
menyelimuti Bilal. Langkahnya terayun begitu berat. Ingin sekali ia menolak
perintah itu. Ia tidak ingin cambuk yang nanti dibawanya melecut di tubuh sang
kekasih. Namun ia juga tak ingin mengecewakan Rasulullah.
Sesampai di rumah putri Rasulullah, ia mengetuk-ngetuk pintu
beberapa kali, tampak suara di dalam rumah bertanya, “siapa yang ada di
balik pintu?”. Dengan sigap Bilal menjawab “aku Bilal, aku diperintahkan
oleh Rasulullah untuk mengambil cambuk.” Fatimah bersegera mengambil cambuk
sebelum membukakan pintu untuk bilal. Sejurus kemudian ia membukakan pintu
untuk Bilal dan menyerahkan cambuk yang dimaksud ayah tercinta, “Hai Bilal!
Apa yang akan ayahku lakukan dengan cambuk ini?” Air mata Bilal pun menetes
sebelum ia menjawab pertanyaan putri Rasulullah, “Ayahmu akan memberikan hukum
kisas untuk diri sendiri.” Jawab Bilal dengan nada pela dan tertunduk. “Hai
Bilal! Siapa orang yang paling baik hatinya dari pada Rasulullah yang akan
mengkisas beliau?” Tanya Fatimah dengan cucuran air mata di hadapan Bilal. Bilal
tidak menjawab pertanyaan putri Nabi, ia langsung bergegas menuju masjid.
Sejalan kemudia ia sampai di masjid dan menghampiri Rasulullah dengan
sekujur badan bergetar, agaknya ia enggan memberikan cambuk itu kepada
Rasulullah. Namun ini adalah perintah Rasulullah ia tak ingin membangkang dari
perintah orang yang sangat dicintainya. Terpaksa ia menyerahkan cambuknya pada
Rasulullah dengan kedua tangan yang bergetar dan air mata yang berlinang di ke
dua bola matanya. Tidak lama cambuk itu berpindah ke tangan Ukasyah. Masjid
seketika mendengung seperti sarang lebah.
Sekonyong-konyong, melompatlah dua sosok dari barisan terdepan, melesat
maju. Yang pertama berwajah sendu, janggutnya basah oleh air mata yang menderas
sejak dari tadi. Dialah Abu Bakar. Dan yang ke dua, sosok pemberani, yang
ditakuti para musuh di medan pertempuran yaitu; Umar Bin Khottob. Dengan
gemetar mereka berkata, “Hai Ukasyah! Kami di hadapanmu, pukulah kami berdua
sesuka yang kau mau. Kisaslah kami, jangan sekali-kali kau kisas Rasulullah.”
“Duduklah kalian, hai sahabatku. Allah telah mengetahui kedudukan
kalian berdua,” Nabi member
perintah secara tegas.
Kedua sahabat itu pun lunglai. Langkahnya gontai surut menuju
tempat duduk semula. Sorot mata keduanya memandang Uksyah yang sigap memegang
erat cambuk untuk dipukulkan kepada Rasulullah. Agaknya mereka berdua memandang
dengan penuh permohonan agar Ukasyah membatalkan niatnya mengkisas Rasulullah.
Ukasyah tidak terpengaruh dengan kedua sahabat itu
Melihat Abu Bakar dan Umar duduk kembali, Ali bin Abi Thalib tidak
tinggal diam. Berdirilah ia di hadapan Ukasyah dengan gagah berani, “Hai
Ukasyah! Selama hidupku selalu di sisi Nabi, tidaklah baik hatiku, jika engkau
mengkisas nabi sedangkan aku membiarkannya. Inilah punggungku, dan inilah
perutku. Pukulah dan kisaslah aku sebanyak yang kau mau!”
“Hai Ali! Allah telah mengetahui derajatmu dan niatmu. Duduklah!” kembali ucap Rasulullah.
Kemudian tampil juga kedua cucu kesayangan Nabi. Hasan dan Husain. “Hai
Ukasyah! Engkau tahu kami kakak beradik. Kamilah cucu Rasulullah. Mengkisas
kami sama halnya engkau mengkisas Rasulullah. Maka kisaslah kami, hai Ukasyah!”
Tetapi sama seperti sebelumnya, Nabi menegur cucunya. “Wahai
penyejuk hatiku, aku tahu kecintaan kalian kepadaku. Duduklah kalian berdua!”
Masjid kembali ditelan senyap. Banyak jantung yang kian berdegup
keras. Semua menahan nafas. Ukasyah tetap tegap menghadap Rasulullah. Kini
tidak ada lagi yang berani berdiri untuk menghalangi kisas Ukasyah kepada
Rasulullah.
“Hai Ukasyah! Jika kau tetap berhasrat untuk mengkisasku. Inilah
ragaku dan kisaslah aku!” nabi selangkah
mendekati Ukasyah.
“Hai Rasulullah! Ketika kau memukulku aku dalam keadaan tak memakai
baju.” Seru Ukasyah dengan nada meminta.
Maka tanpa berbicara, Nabi langsung melepaskan gamisnya yang telah
memudar. Dan tersingkaplah tubuh suci Rasulullah. Seketika pekik takbir
menggema. Semua yang hadir menangis pedih. seakan tidak ingin melihat langsung
orang yang sangat dicintainya dikisas di depan matanya.
Melihat tegap badan manusia yang “maksum” itu, ukasyah langsung
melepaskna cambuk dan spontan menghambur ketubuh Nabi. Sepenuh cinta
direngkuhnya Nabi, begitu mesra. Gumpalan kerinduan yang mengkristal kepada
beliau, dia tumpahkan saat itu. Uksayah menangis gembira. Ukasyah bertasbih memuji
Allah. Ukasyah berteriak haru, gemetar bibirnya berucap sendu. “tebusanmu
jiwaku ya rasulullah, siapakah yang sampai hayi mengkisas manusia sepertimu?
Aku hanya berharap tubuhku melekat dengan tubuhmu hingga Allah dengan
keistimewaan ini menjegaku dari sentuhan api neraka”
Dengan tersenyum, Nabi berkata: “ketahuilah wahai manusia, siapa
yang ingin melihat penduduk surge, maka lihatlah pribadi orang ini.”
Ukasyah langsung tersungkur dan bersujud memuji Allah. Sedangkan
yang lain segera bangun dan bergegas menuju Ukasyah berebut mencium Ukasyah.
Pekik takbir menggema kembali. “wahai Ukasyah, berbahagialah engkau mendapat
derajat yang tinggi dan menemani Rasulullah di surag.”
Allah
A’lam
Dilansir dari kitab Durroh
Annashihin, Karya Utsman Bin Hasan Bin Ahmad Assyakir Al-Khubawi
Terjemah
oleh: Ach. Irfa’i
Tidak ada komentar:
Posting Komentar