Senin, 30 Mei 2016

KEMBANG PETE




Pagi ini terasa menyenangkan. Aku pandangi halam depan rumah yang dipenuhi dengan warna warni bunga. Kicauan burung-burung yang aku pelihara melantunkan nyanyian nan indah. aku lihat di bagasi mobilku, pak udin sedang mencuci mobil dinasku, ifentaris dari pemerintah. Selain mobil ifentaris aku pun mempunyai dua mobil BMW tapi jarang aku pakai. Toh, ada mobil ifentaris selain enak dipakai, aku juga tidak susah mengeluarkan uang untuk bensin apa lagi akhir-akhir ini bensin naik dan harus pakai pertamak yang tentu harganya lebih mahal dari premium. Aku lebih sering memakai mobil ifentaris untuk berreksreasi bersama istri dan anak-anakku.
Hari-hariku sungguh amat menyenangkan ditambah Ririn, istriku. Dia sungguh amat cantik. Dia selalu memperhatikan kecantikkannya, makanya dia rutin setiap tiga kali seminggu pergi ke salon elit yang bergengsi untuk perawatan wajah. Hmmm…alangkah bahagianya hidupku seperti ini.
“brig..” suara itu membuyarkan hayalan indahku.
“woy! Loe kenapa, senyum-senyum sendirian kaya orang gak waras loe. Ayok buruan udah mau sore nih kita baru dapet duit.” Yah! Kita dapat uang dari hasil mengamen, receh demi receh kita kumpulin. Mau gimana lagi, cari kerjaan susah apa lagi aku berani merantau di Jakarta yang hanya bermodal nekad, karena aku gak punya ijazah SMP ataupun SMA.
“ayok! Eh tapi target kita kemana nih?”
“yaahh! Loe pake nanya segala kaya gak biasanya, yak ke bus-bus atau ke metromini-metrominilah.”
“ayok buruan!” dia menarik ujung gitar yang lagi aku pegang.
“eh..eh..ehh! pelan-pelan donk! Kalo gitar ini rusak kita mau cari makan pake apa?”
“eh loe cowok lelet banget”
“nih loe yang main gitar, gue yang nyanyi.” Aku sodorka gitarku.
“oke! Kita mau nyanyi lagu apa?”
“apa ajalah yang penting nyanyi.”
“eehh! Itu ada metromini, ayok naik!” sambungku sambil mengacungkan jari telunjukku kearah mobil tua itu.
Masalah moral, masalah akhlak biar kami cari sendiri
Urus saja moralmu, urus saja akhlakmu peraturan yang sehat yang kami mau
Turunkan harga secepatnya, tegakkan hokum setegak-tegaknya, adil dan tegas tak pandang bulu
Pasti ku angkat engkau menjadi manusia setengah dewa
Wahai presiden kami yang baru kamu harus dengar suara ini.
Lagu dari sang legendaris yang namanya taka sing lagi di telinga masyarakat Indonesia, iwan fals. Lagu untuk presiden aku nyanyikan di hadapan para penumpang mobil tua ini, sebagai ungkapan rasa kecewaku kepada pemerintahan zaman sekarang yang seakan-akan gak mau peduli dengan nasib wong cilik seperti aku dan banyak lagi yang hidupnya lebih nelangsa dari pada aku. Kenapa aku pilih jalan merantau dan memilih mengamen, karena gak ada lagi ladang tempat aku bekerja dulu. Ladangku yang dulu banyak menghasikan rejeki kini berubah menjadi jalan toll oleh orang-orang berdasi.
Aku dapati manusia berdasi di pojok kursi bagian ke-2 dari belakang. Ia tampaknya gak suka aku bawakan lagu ini. Sesekali dia menatap ke arahku dengan tatapan yang seakan dipenuhi kebencian. Aku dekati dan aku sodorka plastik tempat aku memungut receh demi receh pada penumpang. Dia pura-pura sibuk dengan gedgetnya dan dia hanya melambaika telapak tangannya di hadapanku tanda dia gak mau ngasih aku sedikit receh.
“ayuk rin kita turun!” ajak aku, selesai memungut receh dari penumang ke penumpang.
*** *** ***
Apapun yang terjadi ku kan selalu ada untukmu
Janganlah kau bersedih cause every thing it’s gonna be oke!
Petikkan gitar dengan apik mengiringi lagu, jari jemarinya lihai memadukan senar-senar gitar menjadi satu intrumen. Sesekali aku pandangi wajahnya yang berbalut debu-debu jalanan, ia tampak begitu anggun. Bibirnya dengan asyik komat-kamit mengikuti suara gitar melafalkan lirik sebuah lagu yang memberi aku energy semangat. Sesekali ia menyelipkan rambutnya yang agak pirang di daun telianganya, ia kelihatan agak rishi oleh angin yang selalu saja memburaikan rambutnya sehingga terpaksa ia hentikan jari-jarinya dari senar-senar gitar.
Kita sudah jadian setahun yang lalu. Dia selain aku anggap sebagai kekasihku, aku anggap juga dia sebagai sahabat setiaku. Karena dia selalu ada di setiap aku sedang di hadapkan oleh banyak masalah yang selalu membuatku hamper-hampir putus asa menghadapinya.

“kapan yah hidup kita ga kaya gini terus?” mataku memandang awan yang tertutup gedung-gedung apartemen.
“capai gue, di kejar-kejar satpol PP terus, gue merasa kita ga punya hak hidup di Indonesia. Kita sering diusir secara paksa oleh satpol PP. Kita ngamen kesana kemari ga bebas dari perasaan was-was dan takut ditangkap satpol PP. pokoknya gue bosen banget hidup kaya gini.” Aku pandangi krikil-krikil kecil di bawah kakiku.
“iya brig. Tapi mungkin loe lebih berntung dari gue!” sambung ririn, satu langkah menghampiriku dari belakang.
“lebih beruntung gimana rin?” aku mengelak, karena selama ini yang aku tahu hidup di Jakarta, aku dan keluargakulah yang paling susah. Untuk memenuhi kebutuhan pokok keluarga saja ibuku rela menjadi tukang buruh cuci di komplek perumahan, sedang bapakku setiap hari harus bergelut dengan tumpukan sampah. Melihat kondisi keluargaku terpaksa aku putus sekolah tidak sampai tamat SMP. Aku memilih membantu ekonomi keluarga dengan bekerja dan sekarang, aku harus membiayai adikku yang sudah mulai masuk SD. Aku mengamen tanpa sepengetahuan bapak dan ibuku. Yang bapak tahu, aku bekerja di sebuah toko. Kalau saja bapak ibuku tahu, pasti aku akan kena marah mereka.
Meski keluargaku hidup dalam kondisi ekonmi yang minim, tapi orang tuaku tidak pernah mengajariku untuk iba kepada orang lain apa lagi mencuri atau mecopet. Keluargaku memegang erat prinsip hidup madniri.
“hemmm..” ririn mengambil nafas. Tampaknya dia akan menceritakan sesuatu yang belum pernah ia ceritakan kepadaku.
“iya. Loe lebih beruntung dari pad ague. Loe beruntung masih punya keluarga. Loe hidup bersama keluarga loe. Sementara guueee….” Tiba-tiba kata-katanya terhenti. Pelan-pelan aku coba menghadapkan wajahku ke arah wajah ririn. Mendung tampaknya mulai menyelimuti hati ririn. Matanya mulai berkaca-kaca. Air matanya mulai deras menggaris di pipinya.
“sssttt…!” suaraku menenangkan ririn sambil mengelus lengan kanan dari sisi kirinya
“selama ini gue gak tau wajah nyokap gue.” dia sandarkan kepalanya di bahuku. Air matanya bercucuran membasahi bahuku.
“bokap gue meninggal waktu gue berumur 9 tahun. Bokap gue meninggal kena reruntuhan rumah gue yang di gusur satpol PP. sampai sekarang gue hidup sama kakek gue yang udah tua renta. Kadang gue marah, tapi gue gak tahu harus marah sama siapa? Sama merekakah yang menggusur rumah gue? sama nyokapkah yang udah lahirin gue trus gue ditinggalin? Atau sama takdir?”
“sssstttt….!!” Langsung aku potong dan aku hentikan kalimatnya ririn.
Aku terus mengelus-elus bahunya. Sementara ririn tak hentinya sesenggukkan.
“sabar rin..!”
Suasana hening, kembali menenggelamkan kesedihan itu. Hanya terdengar riuh suara gemuruh mesin mobil yang hilir mudik di persimpangan rel kereta api. Aku dan ririn masih dalam posisi seperti biasa.
“brig…!” suaranya terdengar pelan di telingaku. Memecahkan keheningan ini
“gue cinta loe.” Hatiku berdebar mendengar kalimat lirih itu
Dia merogoh saku celananya yang panjangnya hanya menutupi lutut. Tampaknya ada sesuatu yang akan diperlihatkan kepadaku.
Dia meraih tangan kiriku. Sementara tangan kananku masih di bahunya.
“ini sebgai bukti kalau gue sayang sama loe. Gue butuh loe.” Benar dugaanku, dia memberikan aku sesuatu yang pasti bagi orang lain tidak ada harganya. Tapi bagi aku, ini adalah symbol cinta abadi, symbol kestiaan kita dan symbol kesiapan kita untuk hidup bersama baik suka maupun duka.
Aku terima dengan penuh kebahagiaan. Aku pegang tangkainya yang sudah melayu. Aku pandangi bulatan hijau yang dipenuhi putik putih yang sudah rontok. Ya, walau hanya setangkai kembang pete. Tapi ini membuatku sangat bahagia.
“gue juga sayang sama loe rin. Terimakasih rin.” Aku cium kembang itu.
“brig..” suaranya terdengar lirih. Aku pandangi dia dari sisi kananku. Air mata di pipinya tampak mengering.
“iya rin” sahut aku.
 jangan loe lepaskan genggaman ini saat loe lelah melawan hidup ini. Jangan lepas genggaman ini saat loe menemukan kebahagiaan dan jangan loe lepas genggaan ini saat kaki gue gak mampu lagi menapaki hidup ini.” Kembali, mendung menyelimuti hatinya. Dia menundukan kepalanya. Air matanya menetes membasahi ujung sandal jepitnya.
Cinta ini akan menguatkan Loe dan gue. Cinta ini akan selalu memberi energy kepada kita. Biarkan negeri ini dengan congkak menggilas hidup kita. Tapi ingat! Cinta kita kuat dan akan menguatkan kaki kita berdua. Percayalah! Apa pun yang terjadi, gue pasti ada buat loe. Kita akan bersama menapaki hidup ini.” Aku berusaha mayakinkan hati ririn.
“dan jika nafasku terhenti, lepaslah genggamanku, biarkan aku bahagia bersama ayahku di sana. Dan usah kau hentikan langkah kakimu. Teruslah berjalan. Langkah kecilmu lebih berharga dari rencanamu.” Daaaarrrr...!!! tersentak hatiku. Gemetar sekujur tubuh. Bibirku sulit bergerak untuk sekedar membalas kalimatnya. Tiba-tiba
“wiuwiu…wiuwiu...” suara sirine mobil satpol PP yang berhenti di pinggir jalan depan lampu merah. Pengamen dan pengemis berlarian kesana kemari. Seorang anak kecil yang kusam dengan kotak semir sepatunya menangis histeris di gendongan satpol PP. terlihat sahabat kecilku dodi diangkut paksa ke mobil,ia tak sempat menyelamatkan uang recehnya yang berhamburan keluar dari kantong celananya yang kusut dan lusuh hampir-hampir warna aslinya tertutup oleh tebalnya debu. Seorang bapak berumuran 65 tahun tampak beradu mulut dengan petugas satpol PP, tak terima gerobak dan barang dagangannya diangkut petugas Satpol PP. di hadapan gerobak anak kecil yang hanya telanjang dada menangis dalam pelukkan ibunya tampaknya mereka adalah anak dan isterinya bapak tua itu. Hiruk pikuk kebisingan kota tenggelam oleh keributan dan tangisan para pedagang kaki lima yang sengaja mengais rejeki di atas trotoar di pinggiran keramaian kota.
Aku eratkan genggaman tangan ririn sementara tangan kiriku masih erat menggenggam setangkai kembang pete, tanpa banyak bicara aku langsung menarik tangan ririn untuk menghindar dari kejaran Satpol PP.
“Ayok rin! Kita lari lewat sini!” kita lari sejadi-jadinya. Jarak sekitar 500 M, tiba-tiba ririn menghentikan langkah kakinya. Dan menarik tangan kananku, memaksaku untuk berhenti.
“eehh..ehh! bentar..bentaarr!” tampaknya ada sesuatu yang tertinggal.
“ada apa rin?” tanyaku penasaran. Ririn balik menggegam erat jemariku dan menarik tanganku.
“gitar kita ketinggalan di tempat tadi.” jawab ririn tergesa-gesa. Ya! Gitar itu yang menjadi sumber rejeki aku dan ririn, maka bukan hal yang aneh kalo gitar adalah bagian dari hidup aku dan ririn. Kita pun berlari menghampiri tempat yang tadi. Belum sampai di tempat yang dituju, ririn mendadak menghentikan langkah kakinya, aku pun berhenti dan bertanya.
“ada apa rin?” seakan aku dibuat penasaran lagi.
Ririn hanya bisa menjawab dengan tatapan yang tajam dan mengarahkan telunjukknya kea rah tempat semula aku dan ririn duduk. Mataku penasaran dan mengikuti arah jari telunjuk ririn. …..
Teeeggg! Dadaku terasa sesak, denyut nadiku berdetup kencang. Seakan malaikat sedang sediki-sedikit mencabut nyawaku. Tak aku rasa air mata mengalir di kedua pipiku. Aku tatap ririn yang masih menatap tajam menangkap sesuatu di tempat duduk semula. Terlihat air mata ririn pun bercucuran.
Gitar itu dibanting-banting tanpa ampun oleh satpol PP. tak puas di situ, mereka menginjak-injak dan membakar gitarku.
Tampaknya Satpol PP melihat kita berdua dan berlari kerah aku dan ririn. Tak banyak yang aku lakukan lagi, aku langsung menarik tangan ririn yang masih di genggamanku. Aku lari sekencang mungkin. Aku ga menghiraukan orang-orang yang lewat di hadapanku. Yang ada di pikiranku adalah selamat dari kejaran Satpol PP. aku terobos zebracrose ga peduli lampu lalulintas menyala hijau, ririn berlalri di belakangku. Genggaman tanganku semakin aku eratkan dan….
“tiiiiiiitttt…tiiiittt…” suara klakson motor mengagetkanku. Aku berhenti, takku sadar genggaman tengan ririn sudah lepas dari tanganku. Aku memalingkan wajahku, mataku mecari sumber suara itu. Dan ternyata…
“Ririiiinn…!!” teriakku dari jarak 100 M.
Tak berbuat banyak lagi, aku langsung berbalik arah. Terlihat tiga satpol PP berlari menuju kejadian itu. Seketika, aku hentikan langkah kakiku. Aku berhenti tepat di atas trotoar. Aku dibuat kebingungan oleh kejadian itu. Batinku bergejolak sangat hebat. Sekujur tubuhku bergetar melihat ririn bersimpah darah digotong oleh dua satpol PP dan dibantu warga sekitar.
Aku palingkan pandanganku ke arah Satpol PP. Terlihat salah seorang dari tiga Satpol PP membalas tatapanku dengan tatapan yang tajam. Aku balik arah dan lari mencari persembunyian.
Aku amati terus kejadian itu dari balik tembok sisa reruntuhan bangunan yang digusur. Terlihat dari kejauhan, tubuh ririn yang masih bersimpah darah digotong warga sekitar ke mobil angkutan kota.
5 menit kemdian.
 Dirasa cukup aman dan Satpol PP pun tidak ada lagi di tempat kejadian, aku langsung keluar dari balik tembok dan berlari menuju bekas kejadian itu. Zebracrose masih terlihat merah bekas darah ririn yang masih segar.
Aku tengok kanan kiri mencari tukag ojeg yang ada di sekitar daerah itu. Tanpa harus menunggu lama, motor tua berhenti tepat di depanku.
“ojeg bang!” tanpa basa-basi tukang ojeg menwarkan diri.
“iya bang. Tolong anterin gue ikutin angkot merah itu.” Aku acungkan telunjukku ke arah angkot merah yang bernomor B 1270 GH yang membawa riri.
Tanpa penjelasan dariku lagi, tukang ojeg itu langsung tancap gas.
*** *** ***
30 menit kemudian.
Angkot merah itu berhenti di depan Rumah Sakit Bhakti Asih. Tanpa aba-aba dariku tukang ojeg menghentikan laju motornya dan mematikan mesinnya tepat di depan gerbang Rumah Sakit. Aku sodorkan uang receh hasil mengamen dari saku celanaku untuk membayar ojeg.
Tanpa aku hitung berpa receh itu, aku percepat langkah kakiku kearah ririn yang sudah masuk di gedung rumah sakit. Perasaanku terus diliputi rasa kehawatiran yang sangat hebat. Jantungku berdetak tidak beramturan. Ujung kaki dan tanganku gemeteran sesekali aku cium kembang pete yang masih di genggaman tangan kananku. Air mataku membanjiri kedua kelopak mata. Aku terus mengikuti dari belakang, hawatir barangkali Satpol PP ada di sekitar ririn. Aku fokuskan pandanganku ke arah ririn tanpa aku hiraukan orang hilir mudik orang di depanku. Dan…
Braaakkkk….!! Aku menabrak seorang kakek-kakek yang sedang dituntun anaknya di atas kursi roda.
“mmam maa..maaf pak!” suaraku gagap. Aku jadi pusat pandangan pengunjung rumah sakit. Mungkin karena gaya diriku yang kelihatan aneh. Dari cara berpakaianku yang tak lazim dan agak kotor ditambah gaya rambutku yang agak panjang dan gak rapih.
Aku kehilangan jejak ririn. Mataku terus mencari kesana-kemari, tidak ada tanda-tanda ririn di sana. Aku terus mencari dan ternyata ririn sudah di pintu ruang UGD. Aku tengok kesegala arah, depan, kanan, belakang dan kiri memastikan tidak ada Satpol PP di sini. Aku memaksakan diri membuka pintu UGD dan…
“maaf pak, bapak belum diperbolehkan masuk diruang ini.” Tegur salah seorang suster padaku dengan muka ramah.

*** *** ***

Satu setengah jam kemudian.
“loe udah bangun rin.” Aku langsung usap air mataku yang menggaris di pipi. Sedikit bisa bernafas lega, Tuhan masih memberiku kesempatan untuk hidup bersama ririn.
“gue ada di mana brig? apakah kita kena razia Satpol PP?” ia tak sadar apa yang telah terjadi pada dirinya. Tampaknya dia masih di liputi rasa keahawatiran yang sangat hebat. Matanya mengamati sesuatu di sekelilingnya, memastikan kalau dia benar-benar tidak tertangkap Satpol PP. ada yang sedikit aneh dengan tatapannya. Dia penasaran dengan tempat ini.
“loe ada di rumah sakit rin. Tenang aja rin kita aman dari kejaran satpol PP.”
Dia kaget bukan kepalang. Aku tak tahu apa yang membuatnya seperti dihantam suara bom. Dia beranjak dari posisi semula dan menghadapkan mukanya di depanku.
“kenapa gue ada di sini?” suaranya sedikit lantang. Tampaknya ada sesuatu yang membuatnya tak suka berada di rumah sakit.
“loe tadi ketabrak motor dan kepala loe membentur trotoar.” Dengan polos, aku menjelaskan perihal kejadian tersebut.
Dia langsun beranjak dari posisi duduknya. Kedua kakinya ia trunkan di lantai.
“aauuww…! Sakit.” Suaranya membuyarkanku. Aku segera beranjak memegang kedua pundak ririn sekedar untuk mencagah agar dia tidak menurunkan kedua kakinya yang dililit perball.
“gue mau keluar dari sini, gue ga mau di sini.” Dia tampaknya memendam sesuatu.
“tenang rin, nanti kalau loe udah mendingan, gue bawa loe pulang.”
“ga, gue tetep mau keluar dari sini sekarang, kalau loe ga bantu gue, gue mau maksain diri berjalan.”
“rin, loe kenapa sih?” nadaku meninggi membentak ririn. Entah kenapa tiba-tiba air matanya meleleh membasahi pipinya. Tampaknya ada sesuatu yang ingin di ceritakan kepadaku. Aku dekap dia dan mengelus-elus punggungnya. Air matanya deras tak terbendung lagi.
“maafin gue, rin.” Ucapku dengan nada pelan.
“gue gak mau di sini brig.” Kalimatnya terbata-bata kurang begitu jelas.
“gue teringat almarhum bokap gue. Sebelum bokap gue meninggal karena kena reruntuhan bangunan, bokap gue sempet dilarikan ke rumah sakit ini. Tapi apa yang terjadi?” dia sesenggukan tak sanggup melanjutkan kalimatnya. Bara api membakar hatinya memingat masa kelam 12 tahun yang lalu. Dia menutupi mukanya dengan kedua telapak tangannya, berusaha membendung rasa perih di hati.
“bokap gue ga dapet penangan yang serius Cuma gara-gara gak mampu menanggung biaya pengobatan dan akhirnya bokap gueee.” Air matanya terus menggenangi kedua kelopak matanya membasahi jari-jari lentiknya. Aku eratkan dekapanku. Aku tenangkan dirinya.
“bokap gue meninggal.” Air matanya semakin deras mengguyur sekujur jiwaku. Aku coba menahan air mataku agar tak tumpah di adapan ririn, tapi jiwaku semakin tenggelam oleh kesedihan ririn, tak sadar, air mata meggenangi kelopak mataku dan menggaris deras di kedua pipiku.
“jadi, aku mohon sama loe. Keluarin gue dari sini dan pulangkan gue ke kakek gue. Kalau pun gue harus pulag ke bokap gue, gue rela.” Duuaarrr....!! kalimat itu menyambar secepat kilat ke jiwaku. Hujan petir mambasahi jiwaku. Dadaku berdetak kencang. Urat-uratku seakan terlepas dari tubuhku. Dekapanku semakin kecang. Sebentar, aku mengalihkan posisi ririn ke atas kedua lenganku untuk menggotongnya.
“oke rin, gue bawa loe pulang.” Tak berbuat banyak lagi, aku langsung menggotong ririn keluar dari ruangan. Mataku terus memandangi wajah ririn. Aku cepatkan langkahkakiku. Sampai di depan pintu...
“inna lillahiii...” tersentak kaget suster yang membawa makanan untuk pasien. Hampir-hampir aku menabraknya. Tampaknya ia merasa aneh memandangku. Aku tak hiraukan suster itu. Aku terus mempercepatka langkah kakiku.
Tepat di pintu gerbang rumah sakit.
“peculik...penculikk...penculik.” suara itu terdengar dari arah pintu rumah sakit. Aku hentikan langkahku. Aku palingkan wajahku ke sumber suara itu.
“penculik...penculik...penculik..” ternyata suster yang tadi, yang hampir aku tabrak. Tampaknya tadi membawa makan untuk ririn. Suara dan telunjuknya mengarah kepadaku. Sontak, pengunjung rumah sakit berhamburan keluar. Scurity yang berada di pos dekat parkiran, bergegas ke arahku. Tanpa memberikan aba-aba kepada ririn, aku eratkan kedua lenganku melingkari tubuh ririn. Aku lari sejadi-jadinya. Aku mempercepatkan langkahku. Tak hiraukan orang yang berlalu lalang di hadapanku. Aku terus berlari, sesekali aku palingkan wajahku ke belakang memastikan jarak scurity dan aku. Semakin lama ke dua lenganku merasakan amat berat dan lemah menopang tubuh ririn. Aku terus berkali-kali mencoba eratkan kembali lenganku yang sudah lemah. Langkah kakiku semakin lemah. Nafasku tak beraturan. Detak jantungku semakin keras. Aku berusaha kuatkan diri dan mempercepatkan langkah kakiku. Aku tengok kebelakang, dua scurity terus berlari mengejarku. Aku turun dari trotoar dan mencoba menyebrang jalan. Lalu lalang kendaraan menutupi pandangan ke arah seberang jalan yang aku tuju. Aku memaksakan diri menyebrangi jalan yang ramai lalu-lalang kendaraan. Tepat di posisi tengah-tengah jalan raya. tampak terlihat oplet tua dari arah samping kananku. Dan…
Duuaaarrr…..!! INNALILLAHI WA INNA ILAIHI ROJIUN.

THE END

Tidak ada komentar:

Posting Komentar