Latar
Belakang Keluarga KH. Hasyim Asy’ari
Perkawinan antara Kyai Asy’ari dan Halimah diberkahi Tuhan.
Perkawinan ini melahirkan beberapa orang keturunan, yang kemudian di dalam
masyarakat agama memperoleh kedudukan yang penting-penting.
Seorang di antara anak-anak itu ialah yang dinamakan Muhammad
Hasyim, yang kemudian menjadi Kyai besar
dan dikenal orang dengan nama KH. Hasyim Asy’ari.[1]
KH. Hasyim Asy’ari lahir di desa Gedang – salah satu desa di
kabupaten Jombang – Jawa Timur—pada hari selasa kliwon, tangal 24 Dzulqa’dah
1287 H atau bertepatan dengan tanggal 25 Juli 1871 M. Nama lengkapnya adalah
Muhammad Hasyim Asy’ari ibn Abd al-Wahid ibn Abd al-Halim yang mempunyai gelar
Pangeran Bonga ibn Abd al-Rahman yang dikenal dengan sebutan Jaka Tingkir
Sultan Hadi Wijaya Ibn Abd Allah ibn Abd al-Aziz ibn Abd al-Fatah ibn Maulana
Ishaq dari Raden Ain al-Yaqin yang disebut dengan Sunan Giri.
Dari jalur ayah, nasab KH. Hasyim Asy’ari berujung pada Abu Syaiban
yang berasal dari keturunan Arab yang berdakwah di Asia Selatan pada abad ke-4
H dan mendirikan kerajaan Islam yang dikenal dengan kesultanan Ahl’Azamamh
Khan. Mereka adalah keturunan Imam Ja’far al-Shidiq ibn Imam Muhammad al-Baqir.
Sementara itu, dari jalur ibu, KH. Hasyim Asy’ari berasal dari Raja Brawijaya
VI, yang dikenal dengan Lembu Peteng, yang merupakan kakeknya yang kesembilan.
Jalurnya, dari Lembu Peteng kemudian menurunkan Karebet atau Joko Tingkir yang
berarti pemuda dari daerah Tingkir, desa yang terletak di Tenggara Salatiga.[2]
KH. Hasyim Asy’ari adalah anak ketiga dari sepuluh bersaudara,
yaitu, Nafi’ah, Ahmad Saleh, Radiah, Hasan, Anis, Fatanah, Maimunah, Maksum,
Nahrawi, dan Adnan. Sampai umur lima tahun beliau dalam asuhan orang tua dan
kakenya di pesatren Gedang.[3]
Secara geneologis, KH. hasyim Asy`ari merupakan keturunan ke
delapan penguasa Kerajaan Islam Demak, Sultan Pajang yang terkenal dengan
julukan Jaka Tingkir (Mas Karebet), anak Raden Brawijaya VI. Versi lain
menyebutkan bahwa garis keturunan Jaka Tingkir berasal dari silsilah ibu
Hasyim, Winih (Halimah) yang merupakan keturunan ketujuh. Bahkan dari keturunan
garis ayah pula, silsilah Hasyim Asy`ari dapat dirunut dari keluarga Syaiban
berasal dari keturunan para da’i Arab muslim yang datang ke Indonesia untuk menyebarkan
agama Islam pada abad ke-4 H serta mendirikan pusat pendidikan agama Islam.
Keluarga Syaiban adalah keturunan Imam Ja‘far al-Shâdiq bin Imam Muhammad Baqir.
Versi lain menyebut garis keturunan Hasyim Asy`ari dari silsilah Sunan Giri, salah
satu Walisongo yang menyebarkan Islam di Jawa pada abad ke-16.[4]
Riwayat
Hidup KH. Hasyim Asy’ari
Menginjak
tahun 1876, ia diajak pindah ayahnya ke pesantren Keras, pesantren yang
dibangun oleh ayahnya sendiri. Di pesantren ini Hasyim kecil menerima pelajaran
dasar-dasar keagamaan yang diberikan ayahnya sendiri. Kiai Asy’ari.
Kecermelangan otaknya mulai tampak ketika usia 13 tahun, ia sudah membantu
ayahnya mengajar sanri-santri yang lebih besar darinya.
Menurut
H. Aboebakar KH. Hasyim Asy’ari hidup bersama dua orang neneknya selama 5
tahun. Pada waktu ia sudah berumur 6 tahun, ia berpisah dengan mereka itu,
karena ia pindah dengan ayah-bundanya ke salah satu tempat di sebelah selatan Kota
Jombang, Desa Keras namanya. Kejadian berlaku pada tahun 1292 H/1876 M.
Guru
pertamanya adalah ayahnya sendiri yang mendidiknya dengan membaca al-Qur’an dan
literatur-literatur lainnya. Sejak kecil ia sudah dikenal dengan kegemarannya
membaca. Jenjang pendidikan selanjutnya ditempuh di berbagai pesantren. Pada
awalnya ia menjadi santri di pesantren Wonokoyo di Probolinggo, kemudian
berpindah di pesantren Langitan. Tuban. Dari Langitan santri yang cerdas
tersebut berpindah ke Bangkalan, di sebuah pesantren yang diasuh oeh Kyai
Kholil. Terakhir –sebelum belajar ke Mekah—ia sempat nyantri di pesantren
Siwalan Panji, Sidoarjo. Pada pesantren yang terakhir inilah ia diambil menantu
oleh Kyai Ya’Qub, pengasuh pesantren tersebut dengan putrinya Khadijah.[5]
Setelah
menikah, yaitu pada 1891 ketika ia berumur 21, KH. Hasyim Asy’ari dan istrinya
menunaikan ibadah haji ke Mekah atas biaya mertuanya mereka tinggal di Mekah selama 7 bulan. KH.
Hasyim Asy’ari harus pulang ke Tanah Air sendiri karena istrinya meninggal
setelah melahirkan seorang anak yang bernama Abdullah. Perjalanan ini sangat
mengharukan karena sang anak juga meninggal dalam umur 2 bulan.[6]
Pada
tahun 1893 M, setelah beberapa saat di Tanah Air, Hasyim kembali ke Tanah Suci
bersama Anis, adik kandunya, yang akhirnya juga meninggal di sana. Pada
kesempatan ini, ia tinggal di Mekah selama 7 tahun[7]. Di
Tanah Suci itu Hasyim mencurahkan tenaga dan pikirannya untuk belajar berbagai
di siplin ilmu. Hasilnya, hingga pada tahun 1896, ia telah mampu mengajar di
sana.
KH.
Hasyim Asy’ari menikah tujuh kali selama hidupnya; semua istrinya adalah anak
Kyai. Dengan demikian, dia terus memelihara hubungan antarberbagai lembaga
pesantren. Istri pertama KH. Hasyim Asy’ari, Khadijah, merupakan putri Kyai
Ya’qub dari pesantren Siwalan Panji (Sidoarjo); istri keduanya, Nafisah yang
dinikahi setelah istri pertama meninggal dunia, adalah puri Kyai Romli dari
Kemuring (Kediri); istri keempat Masrurah, putri saudara kyai Ilyas, pemimpin
pesntren Kapurejo (Kediri).
KH.
Hasyim Asy’ari mengajar anak-anak beliau dasar-dasar ilmu agama Islam dan
kemudian mengirimkan mereka ke pesantren lain dengan harapan akan mendapat
pengalaman pesantren seperti beliau. Harapa ini paling tidak terlaksana pada
anak perempuannya, Nyai Khairiyah yang kemudian mendirikan pesantren sendiri,
pesantren Seblak. KH. Hasyim Asy’ari mendorong anak-anak putrinya dengan para
Kyai yang mengajar di Tebuireng dan anak-anak lelakinya menikah dengan
putri-putri Kyai sehingga ikut melesarikan tradisi moyang mereka. Selain hal
yang dicapai Nyai Khairiyah keturunan KH. Hasyim Asy’ari yang lain kemudian
menjadi pimpinan-pimpian pesantren Tebuireng sekaligus aktif dalam kegiatan
politik tingkat nasional. Seperti Abdul Wahid Hasyim (w. 1953) merupaka salah
seorang perumus Piagam Jakarta dan kemudian menjabat sebagai Menteri Agama. Hal
serupa juga terjadi kepada anaknya yang paling kecil, Yusuf Hasyim, yang aktif
di militer dan politik tingkat nasional sebelum sekarang menjalankan roda
kepemimpinan pesantren Tebuireng.
Zamakhsyari
menyebut KH. Hasyim Asy’ari sebagai “Kyai paling besar dan terkenal seluruh
Indonesia selama paruh pertama abad ke-20”. James Fox, seorang antropolog dari
Australia National Univesity (ANU), menganggapnya seorang wali. Dia
menggambarkan KH. Hasyim Asy’ari sebagai berikut:
“…jika Kyai pandai masih dianggap sebagai wali, ada satu figure
dalam sejarah Jawa kini yang dapat menjadi kandidat utama untuk peran wali. Ini
adalah ulama besar, Hadratus Syaikh – Kiai Hasyim Asy’ari…memiliki ilmu dan
pandangan sebagai sumber berkah bagi mereka yang mengetahuinya, Hasyim Asy’ari
selama hidupnya menadi pusat pertalian yang menghubungkan para kiai utama
seluruh Jawa. Kiai Hasyim juga dianggap memiliki keistimewaan luar biasa.
Menurut garis keturunannya, tidak saja berasal dari garis keturunan ulama
pandai, dia juga keturunan Prabu Brawijaya.”
KH.
Hasyim Asy’ari meninggal pada tanggal 7 Ramadhan 1366/25 Juli 1947 karena
tekanan darah tinggi. Hal ini terjadi setelah ia mendegar berita dari
Jendral Sudirman dan Bung Tomo, bahwa pasuka Belanda di bawah Jendral Spoor
telah kembali ke Indonesia dan menang dalam pertempuran di Singosari (Malang)
dengan meminta korban yang banyak dari rakyat biasa. KH. Hasyim Asy’ari sangat
terkejut dengan peristiwa ini sehingga terkena serangan stroke.[8]
Menjelang
subuh hari ke-7 Ramadhan KH. Hasyim Asy’ari berpulang ke Rahmatullah. Menurut
dokter, KH. Hasyim Asy’ari terkena serangan hersembloending (pendarahan
otak) secara tiba-tiba. Guna mengenang jasa-jasa almarhum, pemerintah Idonesia
menganugerahinya penghargaan sebagai pahlawan kemerdekaan berdasarkan Keputusan
Presiden No. 294/1964.[9]
Ahmad
Mansur Suryanegara menuturkan, KH. Hasyim Asy’ari meninggal pada dini hari
pukul 03.45, tepat 4/5 Ramadhan 1366 H, Rabu Legi/Kamis Pahing 24/25 Juli 1947
M dalam usia 70 tahun.
Sebelumnya,
beliau masih mampu mengimami shalat Isya dan Tarawih serta menerima tamu. Namun
waktu sahur, pukul 03.45 dini hari KH. Hasyim Asy’ari wafat.
KH.
Hasyim Asy’ari sebagai pembangkit semangat Resolusi Jihad Nahdhatul Ulama (NU),
22 Oktober 1945 H – yang diperingati sebagai hari santri nasional – Senin
Pahing, 15 Dzulqaidah 1364 H, dalam menghadapi pendaratan Tentara Sekutu
Inggris dan NICA .[10]
[2] Anshoriy Nasruddin,
HM. Hendranto Agus, 2015, HOS Tjokroaminoto Pelopor Perjuangan, Guru Bangsa
dan Penggerak Sarekat Islam. Ilmu Giri Yogyakarta.
[3] Khuluq Lathiful, 2011. Fajar
kebangunan ulama: biografi K.H. Hasyim Asy’ari, PT LKiS Pelangi Aksara.
[4]
Fata,
Ahmad Khoirul. Dan M. Ainin Najib. 2014. Kontekstualisasi Pemikiran KH.
Hasyim Asy’ari Tentang Persatuan Umat Islam. Jurnal MIQOT Vol. XXXVIII (2):
323.
[5] Ramayulis,
Nizar, Samsul, 2005, Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam. Quantum
Teaching, PT, Ciputat Pres Group.
[6] Khuluq Lathiful, 2011. Fajar
kebangunan ulama: biografi K.H. Hasyim Asy’ari, PT LKiS Pelangi Aksara.
[7] Ibid.
[8] Khuluq Lathiful, 2011. Fajar
kebangunan ulama: biografi K.H. Hasyim Asy’ari, PT LKiS Pelangi Aksara.
[9] Anshoriy Nasruddin,
HM. Hendranto Agus, 2015, HOS Tjokroaminoto Pelopor Perjuangan, Guru Bangsa
dan Penggerak Sarekat Islam. Ilmu Giri Yogyakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar