Senin, 06 Maret 2017

Berdirinya Organisasi Nahdhatul Ulama (NU)




Nahdhatul Ulama (NU) didirikan pada taggal 16 Rajab 1344 H. (31 Januari 1926) di Surabaya. Pembangunnya ialah alim ulama dari tiap-tiap daerah di Jawa timur. Di antaranya:
1)   KH. Hasyim Asy’ari, Tebuireng.
2)   KH. Abdul Wahab Hasbullah, Tebuireng.
3)   KH. Bisri, Jombang.
4)   KH. Ridwan, Semarang.
5)   KH. Nawawi, Pasuruan.
6)   KH. R.Asnawi, Kudus.
7)   KH. R.Hambali, Kudus.
8)   K. Nakhrawi, Malang
9)   KH. Doromunthaha, Bangkalan.
10)    KH.M.Alwi Abdul Aziz.
11)    Dan lain-lain.
Latar belakang didirikannya organisasi ini semula adalah sebagai perluasan dari Komite Hijaz yang dibangun dengan dua tujuan,
1.      Untuk mengimbangi komite Khilafat yang secara berangsur-angsur jatuh ketangan golongan pembaharuan.
2.      Untuk berseru kepada Ibnu Sa’ud, agar kebiasaan beragama secara radisi bias diteruskan.
Choirunniswah menuturkan dalam jurnal Ta’dib Vo. XVII (2013: 76) dalam pertemuan tersebut diambil dua keputusan paling penting yaitu:
1.      Meresmikan  dan  mengukuhkan  berdirinya  Komite  Hijaz serta  mengirimkan  utusan  ke  Mekkah  atas  nama  Ulama Indonesia  untuk  menghadiri  Kongres  Dunia  Islam  di Mekkah,  dengan  tugas  memperjuangkan  hukum-hukum ibadat dalam mazhab empat.
2.      Membentuk  Jam’iyah  untuk  wadah  persatuan  para  ulama
dalam  tugasnya memimpin  umat menuju  terciptanya  Izzul Islam  wal  Muslimin.  Atas  usul  dari  Alwi  Abdul  Aziz, Jam’iyah  ini  diberi  nama  “Nahdlatul Ulama” yang  artinya
“Kebangkitan para Ulama” [1]
Adapun azas dan tujuan didirikannya Nahdlatul Ulama yaitu :
“Azas  NU  yakini  memegang  dengan  teguh  pada  salah  satu dari mazhabnya Imam empat, yaitu Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i,  Imam  Malik  bin  Anas,  Imam  Abu  Hanifah  an-Nu’man  atau  Imam  Ahmad  bin  Hambal.  Tujuannya  yakni mengerjakan  apa  saja  yang  menjadi  kemaslahatan  agama Islam (Anggaran Dasar Nahdlatul Ulama, pasal 2, 1926)”.
Orang Islam di Indonesia terarik pada masalah khilafat ini semenjak perang dunia I berakhir. Daulat Usmaniyah guncang sedangkan kekuasaan Sultan Turki yang juga dipandang sebagai khalifah, termasuk kaum muslimin di Indonesia, diperebutkan oleh nasionalis Turki di bawah pimpinan Mustafa Kemal. Dalam tahun 1922 Majelis Raya Turki menghapuskan kekuasaan sultan dengan menjadikan negeri itu satu republik, tetapi pada tahun itu majelis tersebut menjadikan Abdul Majid Khilafat tanpa kekuasaan duniawi. Dua tahun kemudian majelis itu menghapuskan khilafat sama sekali.
Perkembangan ini menimbulkan kebingungan pada dunia Islam pada umumnya, yang mulai berpikir tentang pembentukan suatu khilafat baru. Masyarakat Islam Indonesia bukan saja berminat dalam masalah ini, malah merasa berkewajiban memperbincangkan dan mencari penyelesaiannya. Kebetulan Mesir bermaksud mengadakan kongres tentang khalifah pada bulan Maret 1924, dan sebagai sambutan atas maksud ini suatu Komite Khilafat didirikan di Surabaya tanggal 4 Oktober 1924 dengan ketua Wondosudirdjo (kemudian dikenal dengan nama Wondoamiseno) dari Sarekat Islam (SI) dan wakil ketua KH Wahab Hasubllah. Kongres Al-Islam ketiga di Surabaya bulan Desember 1924 antara lain memutuskan untuk mengirim sebuah delegasi ke kongres Kairo, terdiri dari Surjopranoto (Sarikat Islam), Hadji Fahrudin (Muhammadiyah) serta KH. Wahab Hasbullah dari kalangan tradisi.
Tetapi kongres di Kairo itu ditunda, sedangkan minat orang-orang Islam di Jawa tertarik lagi pada perkembangan di Hijaz di mana Ibnu Sa’ud berhasil mengusir Syarif Husain dari Mekah tahun 1924. Segera setelah kemenangan ini pemimpin Wahabi itu mulai melakukan pembersihan dalam kebiasaan praktek beragama sesuai dengan ajarannya, walau pun ia tidak melarang pelajran madzhab di Masjid Al-Haram. Tindakan ini sebagian mendapat sambutan baik di Indonesia, tetapi sebagian juga ditolak. Tetapi dengan kemenangan Ibnu Sa’ud ini, baik Mekah maupun Kairo berrebut kedudukan Khalifah.
Suatu undangan dari Ibnu Sa’ud kepada kaum Islam di Indonesia untuk menhadiri kongres di Mekah dibicarakan di kongres Al-Islam kelima di Bandung (6 Februari 1924). Kedua kongres ini kelihatannya didominasi oleh golongan pembaharu Islam. Malah sebelum kongres di Bandung suatu rapat antara organisasi-organisasi pembaharuan di Cianjur Jawa Barat (8-10 Januari 1926) telah memutuskan untuk Tjokroaminoto dari Sarikat Islam (SI) dan KH Mas Mansur dari Muhammadiyah ke Mekah untuk mengikuti kongres. Pada kongres di Bandung yang memperkuat keputusan rapat di Cianjur. KH. Abdul Wahab Hasbullah atas nama kalangan tradisi mengajukan usul-usul agar kebiasaan-kebiasaan agama seperti membangun kuburan, membaca doa seperti Dala’il al-Khairat, ajaran madzhab, dihormati oleh negeri Arab yang baru dalam negaranya, termasuk di Mekah dan Madinah.
Kongres di Bandung itu tidak menyambut baik usul-usul ini, sehingga KH. Wahab Hasbullah dan tiga orang penyokongnya keluar dari komite Khilafat tersebut di atas, KH. Wahab Hasbullah kemudian mengambil inisiatif untuk mengadakan rapat-rapat kalangan ulama kaum tua, mulanya ulama dari Surabaya, kemudian juga dari Semarang, Pasuruan, Lasem dan pati. Mereka bersepakat untuk mendirikan suatu panitia yang disebut Komite Merembuk Hijaz. Komite inilah yang diubah menjadi Nahdhatul Ulama pada suatu rapat di Surabaya tanggal 31 Januari 1926 M.[2]
Nahdhatul Ulama (Kebangkitan Para Ulama) yang dibangun pada 31 Januari 1926 M, Ahad Pon, 16 Rajab 1344 H, di Surabaya, menghasilkan keputusan KH. Hasyim Asy’ari sebagai Ra’is Akbar organisasi ini.[3]
Untuk melegalisasikan gerak juangnya maka atas usul KH. Said Saleh pada 5 September 1929 M, keluarlah Surat Keputusan Gubernur Jendral yang mengesahkan hadirnya Nahdhatul Ulama di Surabaya pada 6 Februari 1930. Dari surat keputusan inilah, sebagian penulis, misalnya Mr. Iwan Kusuma Sumantri menuliskan hari lahir Nahdhatul Ulama pada 6 Februari 1930 M.
Kelahiran NU diawali dengan berdirinya kelompok “kebangkitan para pedagang” (Nahdhatut Tujjar) pada 1918 M, yang muncul sebagai lembaga gerakan ekonomi pedesaan; disusul dengan berdirinya “kelompok diskusi” (Tashwirul Afkar) 1922 M, sebagai gerakan keilmuan dan kebudayaan; dan diikuti munculnya perkumpulan “kebangkitan rasa kebangsaan” (Nahdhatul Wathan) yang merupakan gerakan politik lewat pendidikan.[4]
Pada masa perjuangan mempertahankan kemerdekaan, tidak hanya kyai (sebagai individu) saja yang ikut dalam peperangan revolusioner ini. NU pun ikut ambil bagian yang menentukan dalam perjuangan di Jawa Timur. Pada 21 dan 22 Oktober 1945, wakil-wakil cabang NU di seluruh Jawa dan Madura berkumpul di Surabaya dan menyatakan perjuangan kemerdekaan sebagai jihad (perang suci). Deklarasi ini, yang kemudian terkenal dengan “Resolusi Jihad”, tidak mendapat perhatian yang selayaknya dari para sejarawan. Tanggal terbit maupun ungkapan kalimatnya menunjukkan bahwa NU mampu menampilkan diri sebagai kekuatan radikal yang tak disangka-sangka.
Tidak dapat diingkari, “Resolusi Jihad” berdampak besar di Jawa Timur. Pasukan-pasukan nonreguler yang bernama Sabilillah rupanya dibentuk sebagai respon langsung atas resolusi ini, yang namanya langsung merujuk pada “perang suci”. Pada 10 November 1945, dua minggu setelah kedatangan pasukan Inggris di Surabaya, sebuah pemberontakan massal pecah, di mana banyak pengikut NU yang terlibat aktif. Banyak di antara pejuang muda yang mengenakan jimat yang diberi kiyai desa kepada mereka. Bung Tomo, yang menggerakkan massa ke dalam perjuangan melalui pidato radionya, mungkin tidak  pernah menjadi santri, tetapi diketahui meminta nasihat kepada KH. Hasyim Asy’ari Danar .[5]




[1] Zuhri, A. M. (2010). Pemikirikan KH. M. Hasyim Asy’ari Tentang Ahl-as-Sunnah wa al-Jama'ah. Surabaya: Khalista.

[2] Zuhairini, Dkk, 2010, Sejarah Pendidikan Islam, PT. Bumi Aksara, Jakarta.
[3] Mansur Suryanegara, Ahmad, 2012, Api Sejarah Jilid II. Salamadani, PT. Grafindo Media Pratama.

[4] Maschan Moesa, Ali, 2007, Nasionalisme Kiai Konstruksi Sosial Berbasis Agama,PT. LKiS Pelangi Aksara.
[5] Widiyanata, D. (2013, Mei 1). Wujud Nasionalisme Tokoh Tradisionalis dan Modernis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar