Ikhtilaf
dalam islam yang sejatinya menjadi rahmat bagi umat Islam sendiri, seperti yang
disabdakan oleh Rasulullah “Ikhtilaf dikalangan umatku adalah arahmat”, kini
seakan menjadi adzab bagi umat Islam
sendiri. Seakan hadits tersebut tidak sesuai dengan realita umat Islam zaman skarang.
Rahmat ikhtilaf
(perbedaan) di zaman sekarang seakan menjadi adzab bagi umat Islam sendiri,
mereka saling menyalahkan satu sama lain dengan bukti-bukti dalil konkrit dari
nash Al-Qur’an dan Hadits. Sumber hukum Islam ini menjadi pedang-pedang yang
tajam untuk menghunus umat Islam yang lainnya yang tidak sefaham dengan mereka.
Kebenaran subjektif yang mereka dapat dari memahami teks Al-Qur’an dan Hadits
atas pemahaman sendiri membuat mereka buta dengan rahmat perbedaan yang sudah
dikatakan oleh Rasulullah.
Perdebatan atas
kebenaran yang relative dan subjektif dengan apa yang mereka dapat pahami dari
teks Al-Qur’an dan Hadits, seyogyanya tidak terjadi di antara umat Islam
karena pemaham mereka bukan mutlak
kebenarannya meskipun didasari oleh Al-Qur’an dan Hadits. Kebenaran yang mutlak
dan hakiki hanya milik Allah semata, tidak semestinya umat Islam mengklaim
dirinya sebagai umat Islam yang paling tepat dalam memahami teks Al-Qur’an dan
Hadits sehingga yang terjadi pada umat Islam zaman sekarang saling menyalahkan
satu sama lain dan juga tak jarang mereka menganggap musyrik bahkan mereka pun
menuduh kafir.
Inilah, iktilaf
yang menjadi adzab bagi umat Islam
zaman sekarang, bahkan adzab bagi dirinya sendiri karena kesombongan mereka
yang merasa paling tepat dalam upaya memahami teks Al-Qur’an dan Hadits.
Ada beberapa
sebab ikhtilaf dalam Islam yang disebutkan oleh Nashir ibnu Sulaiman
Al-amr dalam bukunya “Al-Ikhtilaf fil Amalil Islami Al-Asbab wal Atsar,”
di antaranya, tidak dapat memahami teks Al-Qur’an dan Hadits dengan baik dan
benar, terbujuk oleh hawa nafsu dalam memahami teks Al-Qur’an dan Hadits, salah
sangka dalam memahami permasalahan dan fanatik dengan pendapat sendiri. Sebab-sebab
tersebut menjadikan perselisihan dan perpecahan di antara umat Islam sendiri.
Perbedaan maslah
furu (hukum Islam) seharusnya tidak menimbulkan perdebatan panjang dan
saling menyalahkan satu sama lain yang disebabkan oleh kefanatikan mereka dengan
faham yang mereka anut. Seyogyanya umat Islam menyadari bahwa perbedaan atau ikhtilaf dalam hal furu
(fiqih) adalah hal yang wajar terjadi dan
sudah ada di zaman para sahabat. Dalam menanggapi ikhtilaf furu yang sudah wajar terjadi Umar bin
Abdul Aziz berkata: “saya tidak mencintai para sahabat Rasul yang tidak
ikhtilaf (berbeda dalam hal fiqih), karena jikalau mereka satu pendapat (dalam
fiqih) tentunya umat Islam akan kesusahan (dalam menjalankan ibadah.
Tidak
selayaknya umat Islam berpecah belah, saling berselisih dan berdebat oleh masalah
perbedaan dalam berpendapat maupun berbeda tentang faham dari para imam yang
mereka ikuti.
Di massa
Rasulullah, ikhtilaf (perbedaan) tidak dilarang oleh Rasulullah sendiri,
bahkan Rasulullah tidak menyalahkan salah satu dari sahabatnya yang saling
berbeda dalam memahami perintah Rasulullah. Seperti kejadian, ketika Rasulullah
SAW memerintah para sahabatnya untuk pergi ke Bani Quraidloh, dalam hadits
dikatakan: “hendaklah kalian tidak melaksanakan sholat
fardu Ashar kecuali diperkampungan Bani Quraidloh, lantas para sahabat
mendapati masuknya waktu sholat Ashar ketika masih diperjalanan, sebagian dari
mereka berkata : kita diperintahkan untuk bergegas (dalam melakukan /
mendirikan sholat) dan mereka melakukan sholat diperjalanan. Sebagian dari
sahabat yang lain berkata: kita diperintahkan untuk melakukan sholat di sana
(perkampungan Bani Quraidloh), lantas mereka mengakhirkan sholat, dan
Rasulullah Saw. tidak mencaci maki kepada salah seorangpun diantara mereka.”
Sikap
Rasulullah yang demikian begitu menyejukkan. Rasulullah tidak menyalahkan
mereka yang berbeda dalam memahami perintahnya. Rasulullah memberikan kebebasan
untuk melakukan suatu hal yang dapat mereka pahami dari sabda Rasul sebagai Syari’,
sumber pensyariaatan, karena pemahaman mereka tidak dilandasi oleh hawa nafsu.
Dan para sahabat pun tidak saling meyalahkan, juga tidak menganggap paling
benar dengan apa yang mereka pahami dari perintah Rasulullah.
Para salafus
shalih seperti yang kita kenal di kalangan ulama ahli fiqih seperti; Imam
Hanafi, Imam Hanbali, Imam Maliki dan Imam Syafi’i, tak jarang mereka berbeda
dalam memahami nash Al-Qur’an dan hadits sehingga dalam mengambil kesimpulan
suatu hukum pun mereka berbeda-beda, hal itu merupakan hal yang wajar terjadi. Mereka
dalam berijtihad memandang kemaslahatan umat dan tidak mengabaikan
tujuan-tujuan pokok penegakan syariat atau yang disebut maqosidus syari’at yang
diantaranya; menjaga agama (fidzu al-din), menjaga jiwa/ruh (hifdzu al-ruh),
menjaga keturunan (hifdzu al-nasl), menjaga akal (hifdzu al-aql) dan menjaga
harta (hifdzu al-mal). Mereka dalam berijtihad tidak didasari oleh hawa nafsu
mereka yang hanya memandang kepentingan diri semata, sehingga tak jarang mereka
tidak fanatik dengan pendapat mereka sendiri. Dalam hal ini seperti yang telah
dicontohkan oleh Imam Syafi’i ketika beliau berziarah ke makam gurunya, yaitu
Imam Malik. Beliau Imam Syafi’i yang dalam sholat subuh selalu berqunut, ketika
beliau sholat subuh di hadapan makam gurunya, beliau tidak berqunut. Beliau
juga pernah berkata ”pendapatku bisa jadi benar sedangkan pendapat orang
selainku bisa jadi salah. Dan pendapatku bisa jadi salah sedangkan pendapat
orang selainku bisa jadi benar.”
Sikap
beliau sangat patut dicontoh oleh umat Islam di zaman sekarang dimana perbedaan
seharusnya tidak menjadi adzab yang menjadikan perselisihan dan perpecahan ukhwah
Islamiyah. Akan tetapi menjadikannya sebagai rahmat yang utuh untuk menyatukan perbedaan (bukan menyamakan perbedaan)
juga mengayomi umat Islam yang awam dalam urusan agama.
Tujuan
umat Islam hanyalah satu, yaitu; mencari ridho Allah, yang jalannya atau
caranya pun relative asal tidak menyimpang dari aqidah Islam. Jika tujuan umat
Islam hanyalah mencari ridho Allah tentulah dalam menyikapi ikhtilaf umat Islam tidak saling menyalahkan dan tidak
saling mencaci satu sama lain.
Cirebon,
11 Maret 2015
Oleh:
Achmad Irfa’i