Kamis, 19 Maret 2015

ADZAB DALAM "IKHTILAF" ISLAM


Ikhtilaf dalam islam yang sejatinya menjadi rahmat bagi umat Islam sendiri, seperti yang disabdakan oleh Rasulullah “Ikhtilaf dikalangan umatku adalah arahmat”, kini seakan  menjadi adzab bagi umat Islam sendiri. Seakan hadits tersebut tidak sesuai dengan realita umat Islam  zaman skarang.

Rahmat ikhtilaf (perbedaan) di zaman sekarang seakan menjadi adzab bagi umat Islam sendiri, mereka saling menyalahkan satu sama lain dengan bukti-bukti dalil konkrit dari nash Al-Qur’an dan Hadits. Sumber hukum Islam ini menjadi pedang-pedang yang tajam untuk menghunus umat Islam yang lainnya yang tidak sefaham dengan mereka. Kebenaran subjektif yang mereka dapat dari memahami teks Al-Qur’an dan Hadits atas pemahaman sendiri membuat mereka buta dengan rahmat perbedaan yang sudah dikatakan oleh Rasulullah.

Perdebatan atas kebenaran yang relative dan subjektif dengan apa yang mereka dapat pahami dari teks Al-Qur’an dan Hadits, seyogyanya tidak terjadi di antara umat Islam karena  pemaham mereka bukan mutlak kebenarannya meskipun didasari oleh Al-Qur’an dan Hadits. Kebenaran yang mutlak dan hakiki hanya milik Allah semata, tidak semestinya umat Islam mengklaim dirinya sebagai umat Islam yang paling tepat dalam memahami teks Al-Qur’an dan Hadits sehingga yang terjadi pada umat Islam zaman sekarang saling menyalahkan satu sama lain dan juga tak jarang mereka menganggap musyrik bahkan mereka pun menuduh kafir.

Inilah, iktilaf  yang menjadi adzab bagi umat Islam zaman sekarang, bahkan adzab bagi dirinya sendiri karena kesombongan mereka yang merasa paling tepat dalam upaya memahami teks Al-Qur’an dan Hadits.

Ada beberapa sebab ikhtilaf dalam Islam yang disebutkan oleh Nashir ibnu Sulaiman Al-amr dalam bukunya “Al-Ikhtilaf fil Amalil Islami Al-Asbab wal Atsar,” di antaranya, tidak dapat memahami teks Al-Qur’an dan Hadits dengan baik dan benar, terbujuk oleh hawa nafsu dalam memahami teks Al-Qur’an dan Hadits, salah sangka dalam memahami permasalahan dan fanatik dengan pendapat sendiri. Sebab-sebab tersebut menjadikan perselisihan dan perpecahan di antara umat Islam sendiri.

Perbedaan maslah furu (hukum Islam) seharusnya tidak menimbulkan perdebatan panjang dan saling menyalahkan satu sama lain yang disebabkan oleh kefanatikan mereka dengan faham yang mereka anut. Seyogyanya umat Islam menyadari bahwa  perbedaan atau ikhtilaf dalam hal furu (fiqih)  adalah hal yang wajar terjadi dan sudah ada di zaman para sahabat. Dalam menanggapi ikhtilaf  furu yang sudah wajar terjadi Umar bin Abdul Aziz berkata: “saya tidak mencintai para sahabat Rasul yang tidak ikhtilaf (berbeda dalam hal fiqih), karena jikalau mereka satu pendapat (dalam fiqih) tentunya umat Islam akan kesusahan (dalam menjalankan ibadah.

Tidak selayaknya umat Islam berpecah belah, saling berselisih dan berdebat oleh masalah perbedaan dalam berpendapat maupun berbeda tentang faham dari para imam yang mereka ikuti.

Di massa Rasulullah, ikhtilaf (perbedaan) tidak dilarang oleh Rasulullah sendiri, bahkan Rasulullah tidak menyalahkan salah satu dari sahabatnya yang saling berbeda dalam memahami perintah Rasulullah. Seperti kejadian, ketika Rasulullah SAW memerintah para sahabatnya untuk pergi ke Bani Quraidloh, dalam hadits dikatakan: hendaklah kalian tidak melaksanakan sholat fardu Ashar kecuali diperkampungan Bani Quraidloh, lantas para sahabat mendapati masuknya waktu sholat Ashar ketika masih diperjalanan, sebagian dari mereka berkata : kita diperintahkan untuk bergegas (dalam melakukan / mendirikan sholat) dan mereka melakukan sholat diperjalanan. Sebagian dari sahabat yang lain berkata: kita diperintahkan untuk melakukan sholat di sana (perkampungan Bani Quraidloh), lantas mereka mengakhirkan sholat, dan Rasulullah Saw. tidak mencaci maki kepada salah seorangpun diantara mereka.”

Sikap Rasulullah yang demikian begitu menyejukkan. Rasulullah tidak menyalahkan mereka yang berbeda dalam memahami perintahnya. Rasulullah memberikan kebebasan untuk melakukan suatu hal yang dapat mereka pahami dari sabda Rasul sebagai Syari’, sumber pensyariaatan, karena pemahaman mereka tidak dilandasi oleh hawa nafsu. Dan para sahabat pun tidak saling meyalahkan, juga tidak menganggap paling benar dengan apa yang mereka pahami dari perintah Rasulullah.

Para salafus shalih seperti yang kita kenal di kalangan ulama ahli fiqih seperti; Imam Hanafi, Imam Hanbali, Imam Maliki dan Imam Syafi’i, tak jarang mereka berbeda dalam memahami nash Al-Qur’an dan hadits sehingga dalam mengambil kesimpulan suatu hukum pun mereka berbeda-beda, hal itu merupakan hal yang wajar terjadi. Mereka dalam berijtihad memandang kemaslahatan umat dan tidak mengabaikan tujuan-tujuan pokok penegakan syariat atau yang disebut maqosidus syari’at yang diantaranya; menjaga agama (fidzu al-din), menjaga jiwa/ruh (hifdzu al-ruh), menjaga keturunan (hifdzu al-nasl), menjaga akal (hifdzu al-aql) dan menjaga harta (hifdzu al-mal). Mereka dalam berijtihad tidak didasari oleh hawa nafsu mereka yang hanya memandang kepentingan diri semata, sehingga tak jarang mereka tidak fanatik dengan pendapat mereka sendiri. Dalam hal ini seperti yang telah dicontohkan oleh Imam Syafi’i ketika beliau berziarah ke makam gurunya, yaitu Imam Malik. Beliau Imam Syafi’i yang dalam sholat subuh selalu berqunut, ketika beliau sholat subuh di hadapan makam gurunya, beliau tidak berqunut. Beliau juga pernah berkata ”pendapatku bisa jadi benar sedangkan pendapat orang selainku bisa jadi salah. Dan pendapatku bisa jadi salah sedangkan pendapat orang selainku bisa jadi benar.”

Sikap beliau sangat patut dicontoh oleh umat Islam di zaman sekarang dimana perbedaan seharusnya tidak menjadi adzab yang menjadikan perselisihan dan perpecahan ukhwah Islamiyah. Akan tetapi menjadikannya sebagai rahmat yang utuh untuk  menyatukan perbedaan (bukan menyamakan perbedaan) juga mengayomi umat Islam yang awam dalam urusan agama.

Tujuan umat Islam hanyalah satu, yaitu; mencari ridho Allah, yang jalannya atau caranya pun relative asal tidak menyimpang dari aqidah Islam. Jika tujuan umat Islam hanyalah mencari ridho Allah tentulah dalam menyikapi ikhtilaf  umat Islam tidak saling menyalahkan dan tidak saling mencaci satu sama lain.


Cirebon, 11 Maret 2015

Oleh: Achmad Irfa’i

HUKUM DAN REMISI YANG TEPAT DAN ADIL



            Timpang tindih hukum dan keadilan di Idonesia memicu pendangan masyarakat bahwa hukum di Indonesia “tajam ke bawah tumpul ke atas” terkesan hukum di Indonesia tidak objektif, tidak adil dan kurang tegas.

            Kasus yang menimpa seorang nenek berusia 63 tahun di Situbondo Jawa Timur yang diduga mencuri kayu jati di perhutani, terjerat hukuman delapan tahun penjara. Hukum tersebut sangat berat bagi nenek Asyani yang sudah renta, di usia yang renta nenek berusia 63 tahun ini harus menjalani hari-harinya dibalik jeruji besi selama delapan tahun. 

            Kasusu ini banyak menyita perhatian masyarakat. Masyarakat seakan selalu dibuat bimbang oleh hukum di Indonesia karena banyak kasusu-kasus yang terjadi di Negeri ini yang tak lepas dari hukum akan tetapi hukum di Indonesia seakan tidak memprioritaskan keadilan. Kasus yang menimpa nenek berusia 63 tahun, misalnya. Hukum ini sangat tajam bagi masyarakat kecil dan miskin. Sementara para koruptor yang sangat merugikan keuangan Negara dan secara tidak langsung membunuh ekonomi rakyat, hanya mendapat hukuman beberapa tahun saja, bahkan lebih kecil dari pada hukuman yang diberikan kepada rakyat kecil. Bukan itu saja bahkan MENKU HAM Yasonna H Laoly berencana mengajukan remisi untuk para narapidana korupsi dan hendak merevisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99 Tahun 2012 yang tak memperbolehkan narapidana, terorisme, narkotika dan korupsi memperoleh remisi dan pembebasan bersyarat. 

            Jika Menku HAM Yasonna H Laoly mengajukan remisi untuk para narapidana koruptor dengan berargumen karena remisi adalah hak untuk setiap narapidana dan tak ingin ada diskriminatif, siapa pun itu. Maka, apakah itu suatu keadilan hukum? Tentu, itu bukanlah keadilan hukum. Koruptor sudah seharusnya dihukum dengan seberat-beratnya untuk memberikan efek jera, atau minimal para koruptor dihukum dengan diambil semua asset-aset yang dimilikinya untuk mengganti uang Negara yang telah dimakan, dan jabatannya dilepaskan alias dipecat dari tugas sebagai wakil rakyat. Karena justru merekalah yang merampas hak-hak rakyat. Tentu, secara tidak langsung mereka telah melanggar HAM. Lantas, apakah adil jika remisi itu diberikan kepada orang-orang yang telah merampas hak-hak rakyat? Tentu, sangat tidak adil.

            Hukum yang adil bukan berarti hukum yang diberikan kepada terdakwah disamaratakan semua. Akan tetapi, selayaknya hukum yang diberikan para terdakwah memandang latar belakang terdakwa dan memandang kondisi psikologis terdakwa. Seperti kasus yang menimpa nenek berusia 63 tahun dari Situbondo Jawa Timur, kondisi ekonomi keluarga nenek tersebut yang terbilang miskin dan kondisi fisik yang memang sudah renta dan lemah bahkan untuk menghadiri sidang pun beliau sering tidak hadir, kerana memang kondisi fisik yang sudah lemah. Semestinya diberi keringan hukuman atau minimal diperingatkan saja untuk memberikan efek jera jika memang terbukti bersalah.

            Hukum dan remisi yang tepat dan adil sudah semestinya diberikan kepada mesyarakat yang tersandung kausus hukum. Namun para penegak hukum pun sudah kewajibannya untuk tidak sabjektif dalam memberikan hukum, harus tegas dan adil tidak memihak siapa-siapa. Karena hukum bukanlah barang yang bisa dijual belikan kepada siapa saja yang punya uang namun tidak pada orang yang tidak punya uang. Hukum yang tepat diberikan pula dengan cara yang tepat, kepada orang yang tepat dan dengan kebijakan yang tepat. Kebijakan hukum yang tepat adalah dengan memandang latar belakang dan kondisi psikologis masyarakat yang tersandung kasus hukum bukan memandang kepada pangkat dan jabatan masyarakat yang tersandung kasus hukum.

            Indonesia masih haus akan keadilan. Indonesia hari ini sangat membutuhkan malaikat yang siap memihak, menolong dan memperjuangkan hak-hak rakyat kecil. Banyak orang-orang pintar di negeri ini dan saya kira itu sudah cukup, yang dibutuhkan Indonesia sekarang adalah malaikat yang mempunyai sifat jujur dan mempunyai integritas tinggi dalam mengemban amant juga berlaku adil dan tidak sabjektif dalam memberikan hukuman kapada para tersangka, terlebih-lebih kepada para koruptor yang telah menjajah Indonesia di era kemerdekaan ini. Indonesia masih terpuruk karena terjajah oleh kelakuan para koruptor. Maling-maling kelas kakap di negeri ini tidak sepantasnya mendapat remisi atau keringanan masa tahanan. Hendaknya penegak hukum lebih tegas dan serius menangani para benalu yang menggerogoti negeri sendiri (koruptor).

            Kini keadilan seakan hanya sebatas mimpi saja bagi masyarakat kecil. Masyarakat selalu diberi harapan-harapan kosong. Keadilan menjadi barang yang amat mahal bagi masyarakat kecil namun tidak bagi orang yang berpangkat dan mempunyai kedudukan jabatan. Hukum dan keadilan seakan tidak hidup berdampingan lagi di negeri ini. Keadilan sudah semestinya menjadi hak bagi setiap individu masyarakat namun keadilan juga harus berdasarkan kebijakan-kebijakan yang tepat, tidak serta merta hukum di sama ratakan dengan tidak memandang kondisi masyarakat baik dari segi latar belakang maupun psikologis.

            Faktanya, pada awal tahun 2012 seorang kakek berusia 66 tahun bernama Rawi asal Sulawesi Selatan, terancam dihukum 5 tahun penjara hanya didakwa mencuri segenggam merica. Dan banyak lagi kasus-kasus lainnya yang dari rakyat kecil. Bukankah ini termasuk diskrimatif kepada rakyat kecil nan jelata? Tentu, seperti itulah fakta hukum di negeri ini, mendiskriminasi rakyat kecil. Rakyat kecil jadi menyimpulkan bahwa hukum di negeri ini “tajam ke bawah, tumpul ke atas,” karena keadilan menjadi hal yang langka bagi mereka yang susah dicari ke mana-mana, bahkan bisa jadi susah ditemukan.

Cirebon, 19 Maret 2015
Oleh: Achmad Irfa’i