Nahdhatul
Ulama (NU) didirikan pada taggal 16 Rajab 1344 H. (31 Januari 1926) di
Surabaya. Pembangunnya ialah alim ulama dari tiap-tiap daerah di Jawa timur. Di
antaranya:
1)
KH.
Hasyim Asy’ari, Tebuireng.
2)
KH.
Abdul Wahab Hasbullah, Tebuireng.
3)
KH.
Bisri, Jombang.
4)
KH.
Ridwan, Semarang.
5)
KH.
Nawawi, Pasuruan.
6)
KH.
R.Asnawi, Kudus.
7)
KH.
R.Hambali, Kudus.
8)
K.
Nakhrawi, Malang
9)
KH.
Doromunthaha, Bangkalan.
10)
KH.M.Alwi
Abdul Aziz.
11)
Dan
lain-lain.
Latar
belakang didirikannya organisasi ini semula adalah sebagai perluasan dari
Komite Hijaz yang dibangun dengan dua tujuan,
1.
Untuk
mengimbangi komite Khilafat yang secara berangsur-angsur jatuh ketangan
golongan pembaharuan.
2.
Untuk
berseru kepada Ibnu Sa’ud, agar kebiasaan beragama secara radisi bias
diteruskan.
Choirunniswah menuturkan dalam jurnal Ta’dib Vo. XVII (2013: 76) dalam pertemuan tersebut diambil dua keputusan paling penting
yaitu:
1.
Meresmikan dan
mengukuhkan berdirinya Komite
Hijaz serta mengirimkan utusan
ke Mekkah atas
nama Ulama Indonesia untuk
menghadiri Kongres Dunia
Islam di Mekkah, dengan
tugas memperjuangkan hukum-hukum ibadat dalam mazhab empat.
2.
Membentuk Jam’iyah
untuk wadah persatuan
para ulama
dalam tugasnya memimpin umat menuju
terciptanya Izzul Islam wal
Muslimin. Atas usul
dari Alwi Abdul
Aziz, Jam’iyah ini diberi
nama “Nahdlatul Ulama” yang artinya
Adapun azas dan
tujuan didirikannya Nahdlatul Ulama yaitu :
“Azas NU yakini
memegang dengan teguh
pada salah satu dari mazhabnya Imam empat, yaitu Imam
Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i,
Imam Malik bin
Anas, Imam Abu
Hanifah an-Nu’man atau
Imam Ahmad bin
Hambal. Tujuannya yakni mengerjakan apa
saja yang menjadi
kemaslahatan agama Islam
(Anggaran Dasar Nahdlatul Ulama, pasal 2, 1926)”.
Orang
Islam di Indonesia terarik pada masalah khilafat ini semenjak perang dunia I
berakhir. Daulat Usmaniyah guncang sedangkan kekuasaan Sultan Turki yang juga dipandang
sebagai khalifah, termasuk kaum muslimin di Indonesia, diperebutkan oleh nasionalis
Turki di bawah pimpinan Mustafa Kemal. Dalam tahun 1922 Majelis Raya Turki
menghapuskan kekuasaan sultan dengan menjadikan negeri itu satu republik,
tetapi pada tahun itu majelis tersebut menjadikan Abdul Majid Khilafat tanpa
kekuasaan duniawi. Dua tahun kemudian majelis itu menghapuskan khilafat sama
sekali.
Perkembangan
ini menimbulkan kebingungan pada dunia Islam pada umumnya, yang mulai berpikir
tentang pembentukan suatu khilafat baru. Masyarakat Islam Indonesia bukan saja
berminat dalam masalah ini, malah merasa berkewajiban memperbincangkan dan
mencari penyelesaiannya. Kebetulan Mesir bermaksud mengadakan kongres tentang
khalifah pada bulan Maret 1924, dan sebagai sambutan atas maksud ini suatu
Komite Khilafat didirikan di Surabaya tanggal 4 Oktober 1924 dengan ketua
Wondosudirdjo (kemudian dikenal dengan nama Wondoamiseno) dari Sarekat Islam
(SI) dan wakil ketua KH Wahab Hasubllah. Kongres Al-Islam ketiga di Surabaya
bulan Desember 1924 antara lain memutuskan untuk mengirim sebuah delegasi ke
kongres Kairo, terdiri dari Surjopranoto (Sarikat Islam), Hadji Fahrudin
(Muhammadiyah) serta KH. Wahab Hasbullah dari kalangan tradisi.
Tetapi
kongres di Kairo itu ditunda, sedangkan minat orang-orang Islam di Jawa
tertarik lagi pada perkembangan di Hijaz di mana Ibnu Sa’ud berhasil mengusir
Syarif Husain dari Mekah tahun 1924. Segera setelah kemenangan ini pemimpin
Wahabi itu mulai melakukan pembersihan dalam kebiasaan praktek beragama sesuai
dengan ajarannya, walau pun ia tidak melarang pelajran madzhab di Masjid
Al-Haram. Tindakan ini sebagian mendapat sambutan baik di Indonesia, tetapi
sebagian juga ditolak. Tetapi dengan kemenangan Ibnu Sa’ud ini, baik Mekah
maupun Kairo berrebut kedudukan Khalifah.
Suatu
undangan dari Ibnu Sa’ud kepada kaum Islam di Indonesia untuk menhadiri kongres
di Mekah dibicarakan di kongres Al-Islam kelima di Bandung (6 Februari 1924).
Kedua kongres ini kelihatannya didominasi oleh golongan pembaharu Islam. Malah
sebelum kongres di Bandung suatu rapat antara organisasi-organisasi pembaharuan
di Cianjur Jawa Barat (8-10 Januari 1926) telah memutuskan untuk Tjokroaminoto
dari Sarikat Islam (SI) dan KH Mas Mansur dari Muhammadiyah ke Mekah untuk mengikuti
kongres. Pada kongres di Bandung yang memperkuat keputusan rapat di Cianjur.
KH. Abdul Wahab Hasbullah atas nama kalangan tradisi mengajukan usul-usul agar
kebiasaan-kebiasaan agama seperti membangun kuburan, membaca doa seperti Dala’il
al-Khairat, ajaran madzhab, dihormati oleh negeri Arab yang baru dalam
negaranya, termasuk di Mekah dan Madinah.
Kongres
di Bandung itu tidak menyambut baik usul-usul ini, sehingga KH. Wahab Hasbullah
dan tiga orang penyokongnya keluar dari komite Khilafat tersebut di atas, KH.
Wahab Hasbullah kemudian mengambil inisiatif untuk mengadakan rapat-rapat
kalangan ulama kaum tua, mulanya ulama dari Surabaya, kemudian juga dari
Semarang, Pasuruan, Lasem dan pati. Mereka bersepakat untuk mendirikan suatu
panitia yang disebut Komite Merembuk Hijaz. Komite inilah yang diubah menjadi
Nahdhatul Ulama pada suatu rapat di Surabaya tanggal 31 Januari 1926 M.
Nahdhatul
Ulama (Kebangkitan Para Ulama) yang dibangun pada 31 Januari 1926 M, Ahad Pon,
16 Rajab 1344 H, di Surabaya, menghasilkan keputusan KH. Hasyim Asy’ari sebagai
Ra’is Akbar organisasi ini.
Untuk
melegalisasikan gerak juangnya maka atas usul KH. Said Saleh pada 5 September
1929 M, keluarlah Surat Keputusan Gubernur Jendral yang mengesahkan hadirnya
Nahdhatul Ulama di Surabaya pada 6 Februari 1930. Dari surat keputusan inilah,
sebagian penulis, misalnya Mr. Iwan Kusuma Sumantri menuliskan hari lahir
Nahdhatul Ulama pada 6 Februari 1930 M.
Kelahiran
NU diawali dengan berdirinya kelompok “kebangkitan para pedagang” (Nahdhatut
Tujjar) pada 1918 M, yang muncul sebagai lembaga gerakan ekonomi pedesaan;
disusul dengan berdirinya “kelompok diskusi” (Tashwirul Afkar) 1922 M, sebagai
gerakan keilmuan dan kebudayaan; dan diikuti munculnya perkumpulan “kebangkitan
rasa kebangsaan” (Nahdhatul Wathan) yang merupakan gerakan politik lewat
pendidikan.
Pada
masa perjuangan mempertahankan kemerdekaan, tidak hanya kyai (sebagai individu)
saja yang ikut dalam peperangan revolusioner ini. NU pun ikut ambil bagian yang
menentukan dalam perjuangan di Jawa Timur. Pada 21 dan 22 Oktober 1945,
wakil-wakil cabang NU di seluruh Jawa dan Madura berkumpul di Surabaya dan
menyatakan perjuangan kemerdekaan sebagai jihad (perang suci). Deklarasi ini,
yang kemudian terkenal dengan “Resolusi Jihad”, tidak mendapat perhatian yang
selayaknya dari para sejarawan. Tanggal terbit maupun ungkapan kalimatnya
menunjukkan bahwa NU mampu menampilkan diri sebagai kekuatan radikal yang tak
disangka-sangka.
Tidak
dapat diingkari, “Resolusi Jihad” berdampak besar di Jawa Timur.
Pasukan-pasukan nonreguler yang bernama Sabilillah rupanya dibentuk sebagai
respon langsung atas resolusi ini, yang namanya langsung merujuk pada “perang
suci”. Pada 10 November 1945, dua minggu setelah kedatangan pasukan Inggris di
Surabaya, sebuah pemberontakan massal pecah, di mana banyak pengikut NU yang
terlibat aktif. Banyak di antara pejuang muda yang mengenakan jimat yang diberi
kiyai desa kepada mereka. Bung Tomo, yang menggerakkan massa ke dalam
perjuangan melalui pidato radionya, mungkin tidak pernah menjadi santri, tetapi diketahui
meminta nasihat kepada KH. Hasyim Asy’ari Danar .
Zuhri, A. M. (2010). Pemikirikan KH. M. Hasyim Asy’ari
Tentang Ahl-as-Sunnah wa al-Jama'ah. Surabaya: Khalista.
Zuhairini,
Dkk, 2010, Sejarah Pendidikan Islam, PT. Bumi Aksara, Jakarta.
Maschan
Moesa, Ali, 2007, Nasionalisme Kiai Konstruksi Sosial Berbasis Agama,PT.
LKiS Pelangi Aksara.