Minggu, 26 Februari 2017

BIOGRAFI KH. HASYIM ASY’ARI

https://www.hidayatullah.com/files/bfi_thumb/HasyimAsyari1-2xoca7tahvmpuftrnkpt6o.jpg 



Latar Belakang Keluarga KH. Hasyim Asy’ari
Perkawinan antara Kyai Asy’ari dan Halimah diberkahi Tuhan. Perkawinan ini melahirkan beberapa orang keturunan, yang kemudian di dalam masyarakat agama memperoleh kedudukan yang penting-penting.
Seorang di antara anak-anak itu ialah yang dinamakan Muhammad Hasyim, yang kemudian menjadi Kyai besar  dan dikenal orang dengan nama KH. Hasyim Asy’ari.[1]
KH. Hasyim Asy’ari lahir di desa Gedang – salah satu desa di kabupaten Jombang – Jawa Timur—pada hari selasa kliwon, tangal 24 Dzulqa’dah 1287 H atau bertepatan dengan tanggal 25 Juli 1871 M. Nama lengkapnya adalah Muhammad Hasyim Asy’ari ibn Abd al-Wahid ibn Abd al-Halim yang mempunyai gelar Pangeran Bonga ibn Abd al-Rahman yang dikenal dengan sebutan Jaka Tingkir Sultan Hadi Wijaya Ibn Abd Allah ibn Abd al-Aziz ibn Abd al-Fatah ibn Maulana Ishaq dari Raden Ain al-Yaqin yang disebut dengan Sunan Giri.
Dari jalur ayah, nasab KH. Hasyim Asy’ari berujung pada Abu Syaiban yang berasal dari keturunan Arab yang berdakwah di Asia Selatan pada abad ke-4 H dan mendirikan kerajaan Islam yang dikenal dengan kesultanan Ahl’Azamamh Khan. Mereka adalah keturunan Imam Ja’far al-Shidiq ibn Imam Muhammad al-Baqir. Sementara itu, dari jalur ibu, KH. Hasyim Asy’ari berasal dari Raja Brawijaya VI, yang dikenal dengan Lembu Peteng, yang merupakan kakeknya yang kesembilan. Jalurnya, dari Lembu Peteng kemudian menurunkan Karebet atau Joko Tingkir yang berarti pemuda dari daerah Tingkir, desa yang terletak di Tenggara Salatiga.[2]
KH. Hasyim Asy’ari adalah anak ketiga dari sepuluh bersaudara, yaitu, Nafi’ah, Ahmad Saleh, Radiah, Hasan, Anis, Fatanah, Maimunah, Maksum, Nahrawi, dan Adnan. Sampai umur lima tahun beliau dalam asuhan orang tua dan kakenya di pesatren Gedang.[3]
Secara geneologis, KH. hasyim Asy`ari merupakan keturunan ke delapan penguasa Kerajaan Islam Demak, Sultan Pajang yang terkenal dengan julukan Jaka Tingkir (Mas Karebet), anak Raden Brawijaya VI. Versi lain menyebutkan bahwa garis keturunan Jaka Tingkir berasal dari silsilah ibu Hasyim, Winih (Halimah) yang merupakan keturunan ketujuh. Bahkan dari keturunan garis ayah pula, silsilah Hasyim Asy`ari dapat dirunut dari keluarga Syaiban berasal dari keturunan para da’i Arab muslim yang datang ke Indonesia untuk menyebarkan agama Islam pada abad ke-4 H serta mendirikan pusat pendidikan agama Islam. Keluarga Syaiban adalah keturunan Imam Ja‘far al-Shâdiq bin Imam Muhammad Baqir. Versi lain menyebut garis keturunan Hasyim Asy`ari dari silsilah Sunan Giri, salah satu Walisongo yang menyebarkan Islam di Jawa pada abad ke-16.[4]

Riwayat Hidup KH. Hasyim Asy’ari
Menginjak tahun 1876, ia diajak pindah ayahnya ke pesantren Keras, pesantren yang dibangun oleh ayahnya sendiri. Di pesantren ini Hasyim kecil menerima pelajaran dasar-dasar keagamaan yang diberikan ayahnya sendiri. Kiai Asy’ari. Kecermelangan otaknya mulai tampak ketika usia 13 tahun, ia sudah membantu ayahnya mengajar sanri-santri yang lebih besar darinya.
Menurut H. Aboebakar KH. Hasyim Asy’ari hidup bersama dua orang neneknya selama 5 tahun. Pada waktu ia sudah berumur 6 tahun, ia berpisah dengan mereka itu, karena ia pindah dengan ayah-bundanya ke salah satu tempat di sebelah selatan Kota Jombang, Desa Keras namanya. Kejadian berlaku pada tahun 1292 H/1876 M.
Guru pertamanya adalah ayahnya sendiri yang mendidiknya dengan membaca al-Qur’an dan literatur-literatur lainnya. Sejak kecil ia sudah dikenal dengan kegemarannya membaca. Jenjang pendidikan selanjutnya ditempuh di berbagai pesantren. Pada awalnya ia menjadi santri di pesantren Wonokoyo di Probolinggo, kemudian berpindah di pesantren Langitan. Tuban. Dari Langitan santri yang cerdas tersebut berpindah ke Bangkalan, di sebuah pesantren yang diasuh oeh Kyai Kholil. Terakhir –sebelum belajar ke Mekah—ia sempat nyantri di pesantren Siwalan Panji, Sidoarjo. Pada pesantren yang terakhir inilah ia diambil menantu oleh Kyai Ya’Qub, pengasuh pesantren tersebut dengan putrinya Khadijah.[5]
Setelah menikah, yaitu pada 1891 ketika ia berumur 21, KH. Hasyim Asy’ari dan istrinya menunaikan ibadah haji ke Mekah atas biaya mertuanya  mereka tinggal di Mekah selama 7 bulan. KH. Hasyim Asy’ari harus pulang ke Tanah Air sendiri karena istrinya meninggal setelah melahirkan seorang anak yang bernama Abdullah. Perjalanan ini sangat mengharukan karena sang anak juga meninggal dalam umur 2 bulan.[6]
Pada tahun 1893 M, setelah beberapa saat di Tanah Air, Hasyim kembali ke Tanah Suci bersama Anis, adik kandunya, yang akhirnya juga meninggal di sana. Pada kesempatan ini, ia tinggal di Mekah selama 7 tahun[7]. Di Tanah Suci itu Hasyim mencurahkan tenaga dan pikirannya untuk belajar berbagai di siplin ilmu. Hasilnya, hingga pada tahun 1896, ia telah mampu mengajar di sana.
KH. Hasyim Asy’ari menikah tujuh kali selama hidupnya; semua istrinya adalah anak Kyai. Dengan demikian, dia terus memelihara hubungan antarberbagai lembaga pesantren. Istri pertama KH. Hasyim Asy’ari, Khadijah, merupakan putri Kyai Ya’qub dari pesantren Siwalan Panji (Sidoarjo); istri keduanya, Nafisah yang dinikahi setelah istri pertama meninggal dunia, adalah puri Kyai Romli dari Kemuring (Kediri); istri keempat Masrurah, putri saudara kyai Ilyas, pemimpin pesntren Kapurejo (Kediri).
KH. Hasyim Asy’ari mengajar anak-anak beliau dasar-dasar ilmu agama Islam dan kemudian mengirimkan mereka ke pesantren lain dengan harapan akan mendapat pengalaman pesantren seperti beliau. Harapa ini paling tidak terlaksana pada anak perempuannya, Nyai Khairiyah yang kemudian mendirikan pesantren sendiri, pesantren Seblak. KH. Hasyim Asy’ari mendorong anak-anak putrinya dengan para Kyai yang mengajar di Tebuireng dan anak-anak lelakinya menikah dengan putri-putri Kyai sehingga ikut melesarikan tradisi moyang mereka. Selain hal yang dicapai Nyai Khairiyah keturunan KH. Hasyim Asy’ari yang lain kemudian menjadi pimpinan-pimpian pesantren Tebuireng sekaligus aktif dalam kegiatan politik tingkat nasional. Seperti Abdul Wahid Hasyim (w. 1953) merupaka salah seorang perumus Piagam Jakarta dan kemudian menjabat sebagai Menteri Agama. Hal serupa juga terjadi kepada anaknya yang paling kecil, Yusuf Hasyim, yang aktif di militer dan politik tingkat nasional sebelum sekarang menjalankan roda kepemimpinan pesantren Tebuireng.
Zamakhsyari menyebut KH. Hasyim Asy’ari sebagai “Kyai paling besar dan terkenal seluruh Indonesia selama paruh pertama abad ke-20”. James Fox, seorang antropolog dari Australia National Univesity (ANU), menganggapnya seorang wali. Dia menggambarkan KH. Hasyim Asy’ari sebagai berikut:
“…jika Kyai pandai masih dianggap sebagai wali, ada satu figure dalam sejarah Jawa kini yang dapat menjadi kandidat utama untuk peran wali. Ini adalah ulama besar, Hadratus Syaikh – Kiai Hasyim Asy’ari…memiliki ilmu dan pandangan sebagai sumber berkah bagi mereka yang mengetahuinya, Hasyim Asy’ari selama hidupnya menadi pusat pertalian yang menghubungkan para kiai utama seluruh Jawa. Kiai Hasyim juga dianggap memiliki keistimewaan luar biasa. Menurut garis keturunannya, tidak saja berasal dari garis keturunan ulama pandai, dia juga keturunan Prabu Brawijaya.”
KH. Hasyim Asy’ari meninggal pada tanggal 7 Ramadhan 1366/25 Juli 1947 karena tekanan darah tinggi. Hal ini terjadi setelah ia mendegar berita dari Jendral Sudirman dan Bung Tomo, bahwa pasuka Belanda di bawah Jendral Spoor telah kembali ke Indonesia dan menang dalam pertempuran di Singosari (Malang) dengan meminta korban yang banyak dari rakyat biasa. KH. Hasyim Asy’ari sangat terkejut dengan peristiwa ini sehingga terkena serangan stroke.[8]
Menjelang subuh hari ke-7 Ramadhan KH. Hasyim Asy’ari berpulang ke Rahmatullah. Menurut dokter, KH. Hasyim Asy’ari terkena serangan hersembloending (pendarahan otak) secara tiba-tiba. Guna mengenang jasa-jasa almarhum, pemerintah Idonesia menganugerahinya penghargaan sebagai pahlawan kemerdekaan berdasarkan Keputusan Presiden No. 294/1964.[9]
Ahmad Mansur Suryanegara menuturkan, KH. Hasyim Asy’ari meninggal pada dini hari pukul 03.45, tepat 4/5 Ramadhan 1366 H, Rabu Legi/Kamis Pahing 24/25 Juli 1947 M dalam usia 70 tahun.
Sebelumnya, beliau masih mampu mengimami shalat Isya dan Tarawih serta menerima tamu. Namun waktu sahur, pukul 03.45 dini hari KH. Hasyim Asy’ari wafat.
KH. Hasyim Asy’ari sebagai pembangkit semangat Resolusi Jihad Nahdhatul Ulama (NU), 22 Oktober 1945 H – yang diperingati sebagai hari santri nasional – Senin Pahing, 15 Dzulqaidah 1364 H, dalam menghadapi pendaratan Tentara Sekutu Inggris dan NICA .[10]







[1] Aboebakar. 2011. Sejarah Hidup KH. A. Wahid Hasjid, PT. Mizan Pustaka.
[2] Anshoriy Nasruddin, HM. Hendranto Agus, 2015, HOS Tjokroaminoto Pelopor Perjuangan, Guru Bangsa dan Penggerak Sarekat Islam. Ilmu Giri Yogyakarta.
[3] Khuluq Lathiful, 2011. Fajar kebangunan ulama: biografi K.H. Hasyim Asy’ari, PT LKiS Pelangi Aksara.

[4] Fata, Ahmad Khoirul. Dan M. Ainin Najib. 2014. Kontekstualisasi Pemikiran KH. Hasyim Asy’ari Tentang Persatuan Umat Islam. Jurnal MIQOT Vol. XXXVIII (2): 323.

[5] Ramayulis, Nizar, Samsul, 2005, Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam. Quantum Teaching,  PT, Ciputat Pres Group.
[6] Khuluq Lathiful, 2011. Fajar kebangunan ulama: biografi K.H. Hasyim Asy’ari, PT LKiS Pelangi Aksara.
[7] Ibid.
[8] Khuluq Lathiful, 2011. Fajar kebangunan ulama: biografi K.H. Hasyim Asy’ari, PT LKiS Pelangi Aksara.
[9] Anshoriy Nasruddin, HM. Hendranto Agus, 2015, HOS Tjokroaminoto Pelopor Perjuangan, Guru Bangsa dan Penggerak Sarekat Islam. Ilmu Giri Yogyakarta.
[10] Mansur Suryanegara, Ahmad, 2014, Api Sejarah Jilid I. Salamadani, PT. Grafindo Media Pratama.