Pagi ini terasa menyenangkan. Aku
pandangi halam depan rumah yang dipenuhi dengan warna warni bunga. Kicauan
burung-burung yang aku pelihara melantunkan nyanyian nan indah. aku lihat di
bagasi mobilku, pak udin sedang mencuci mobil dinasku, ifentaris dari
pemerintah. Selain mobil ifentaris aku pun mempunyai dua mobil BMW tapi jarang
aku pakai. Toh, ada mobil ifentaris selain enak dipakai, aku juga tidak susah
mengeluarkan uang untuk bensin apa lagi akhir-akhir ini bensin naik dan harus
pakai pertamak yang tentu harganya lebih mahal dari premium. Aku lebih sering
memakai mobil ifentaris untuk berreksreasi bersama istri dan anak-anakku.
Hari-hariku sungguh amat menyenangkan
ditambah Ririn, istriku. Dia sungguh amat cantik. Dia selalu memperhatikan
kecantikkannya, makanya dia rutin setiap tiga kali seminggu pergi ke salon elit
yang bergengsi untuk perawatan wajah. Hmmm…alangkah bahagianya hidupku seperti
ini.
“brig..” suara itu membuyarkan hayalan
indahku.
“woy! Loe kenapa, senyum-senyum
sendirian kaya orang gak waras loe. Ayok buruan udah mau sore nih kita baru
dapet duit.” Yah! Kita dapat uang dari hasil mengamen, receh demi receh kita
kumpulin. Mau gimana lagi, cari kerjaan susah apa lagi aku berani merantau di
Jakarta yang hanya bermodal nekad, karena aku gak punya ijazah SMP ataupun SMA.
“ayok! Eh tapi target kita kemana nih?”
“yaahh! Loe pake nanya segala kaya gak
biasanya, yak ke bus-bus atau ke metromini-metrominilah.”
“ayok buruan!” dia menarik ujung gitar
yang lagi aku pegang.
“eh..eh..ehh! pelan-pelan donk! Kalo
gitar ini rusak kita mau cari makan pake apa?”
“eh loe cowok lelet banget”
“nih loe yang main gitar, gue yang
nyanyi.” Aku sodorka gitarku.
“oke! Kita mau nyanyi lagu apa?”
“apa ajalah yang penting nyanyi.”
“eehh! Itu ada metromini, ayok naik!”
sambungku sambil mengacungkan jari telunjukku kearah mobil tua itu.
Masalah moral, masalah akhlak biar kami
cari sendiri
Urus saja moralmu, urus saja akhlakmu
peraturan yang sehat yang kami mau
Turunkan harga secepatnya, tegakkan
hokum setegak-tegaknya, adil dan tegas tak pandang bulu
Pasti ku angkat engkau menjadi manusia
setengah dewa
Wahai presiden kami yang baru kamu harus
dengar suara ini.
Lagu dari sang legendaris yang namanya
taka sing lagi di telinga masyarakat Indonesia, iwan fals. Lagu untuk presiden
aku nyanyikan di hadapan para penumpang mobil tua ini, sebagai ungkapan rasa
kecewaku kepada pemerintahan zaman sekarang yang seakan-akan gak mau peduli
dengan nasib wong cilik seperti aku dan banyak lagi yang hidupnya lebih
nelangsa dari pada aku. Kenapa aku pilih jalan merantau dan memilih mengamen,
karena gak ada lagi ladang tempat aku bekerja dulu. Ladangku yang dulu banyak
menghasikan rejeki kini berubah menjadi jalan toll oleh orang-orang berdasi.
Aku dapati manusia berdasi di pojok kursi
bagian ke-2 dari belakang. Ia tampaknya gak suka aku bawakan lagu ini. Sesekali
dia menatap ke arahku dengan tatapan yang seakan dipenuhi kebencian. Aku dekati
dan aku sodorka plastik tempat aku memungut receh demi receh pada penumpang.
Dia pura-pura sibuk dengan gedgetnya dan dia hanya melambaika telapak tangannya
di hadapanku tanda dia gak mau ngasih aku sedikit receh.
“ayuk rin kita turun!” ajak aku, selesai
memungut receh dari penumang ke penumpang.
*** *** ***
Apapun yang terjadi ku kan selalu ada
untukmu
Janganlah kau bersedih cause every thing
it’s gonna be oke!
Petikkan gitar dengan apik mengiringi
lagu, jari jemarinya lihai memadukan senar-senar gitar menjadi satu intrumen.
Sesekali aku pandangi wajahnya yang berbalut debu-debu jalanan, ia tampak
begitu anggun. Bibirnya dengan asyik komat-kamit mengikuti suara gitar
melafalkan lirik sebuah lagu yang memberi aku energy semangat. Sesekali ia
menyelipkan rambutnya yang agak pirang di daun telianganya, ia kelihatan agak
rishi oleh angin yang selalu saja memburaikan rambutnya sehingga terpaksa ia
hentikan jari-jarinya dari senar-senar gitar.
Kita sudah jadian setahun yang lalu. Dia
selain aku anggap sebagai kekasihku, aku anggap juga dia sebagai sahabat
setiaku. Karena dia selalu ada di setiap aku sedang di hadapkan oleh banyak
masalah yang selalu membuatku hamper-hampir putus asa menghadapinya.
“kapan yah hidup kita ga kaya gini
terus?” mataku memandang awan yang tertutup gedung-gedung apartemen.
“capai gue, di kejar-kejar satpol PP
terus, gue merasa kita ga punya hak hidup di Indonesia. Kita sering diusir
secara paksa oleh satpol PP. Kita ngamen kesana kemari ga bebas dari perasaan
was-was dan takut ditangkap satpol PP. pokoknya gue bosen banget hidup kaya
gini.” Aku pandangi krikil-krikil kecil di bawah kakiku.
“iya brig. Tapi mungkin loe lebih
berntung dari gue!” sambung ririn, satu langkah menghampiriku dari belakang.
“lebih beruntung gimana rin?” aku
mengelak, karena selama ini yang aku tahu hidup di Jakarta, aku dan
keluargakulah yang paling susah. Untuk memenuhi kebutuhan pokok keluarga saja
ibuku rela menjadi tukang buruh cuci di komplek perumahan, sedang bapakku
setiap hari harus bergelut dengan tumpukan sampah. Melihat kondisi keluargaku
terpaksa aku putus sekolah tidak sampai tamat SMP. Aku memilih membantu ekonomi
keluarga dengan bekerja dan sekarang, aku harus membiayai adikku yang sudah
mulai masuk SD. Aku mengamen tanpa sepengetahuan bapak dan ibuku. Yang bapak
tahu, aku bekerja di sebuah toko. Kalau saja bapak ibuku tahu, pasti aku akan kena
marah mereka.
Meski keluargaku hidup dalam kondisi
ekonmi yang minim, tapi orang tuaku tidak pernah mengajariku untuk iba kepada
orang lain apa lagi mencuri atau mecopet. Keluargaku memegang erat prinsip
hidup madniri.
“hemmm..” ririn mengambil nafas.
Tampaknya dia akan menceritakan sesuatu yang belum pernah ia ceritakan
kepadaku.
“iya. Loe lebih beruntung dari pad ague.
Loe beruntung masih punya keluarga. Loe hidup bersama keluarga loe. Sementara
guueee….” Tiba-tiba kata-katanya terhenti. Pelan-pelan aku coba menghadapkan
wajahku ke arah wajah ririn. Mendung tampaknya mulai menyelimuti hati ririn.
Matanya mulai berkaca-kaca. Air matanya mulai deras menggaris di pipinya.
“sssttt…!” suaraku menenangkan ririn
sambil mengelus lengan kanan dari sisi kirinya
“selama ini gue gak tau wajah nyokap
gue.” dia sandarkan kepalanya di bahuku. Air matanya bercucuran membasahi
bahuku.
“bokap gue meninggal waktu gue berumur 9
tahun. Bokap gue meninggal kena reruntuhan rumah gue yang di gusur satpol PP. sampai
sekarang gue hidup sama kakek gue yang udah tua renta. Kadang gue marah, tapi
gue gak tahu harus marah sama siapa? Sama merekakah yang menggusur rumah gue?
sama nyokapkah yang udah lahirin gue trus gue ditinggalin? Atau sama takdir?”
“sssstttt….!!” Langsung aku potong dan
aku hentikan kalimatnya ririn.
Aku terus mengelus-elus bahunya.
Sementara ririn tak hentinya sesenggukkan.
“sabar rin..!”
Suasana hening, kembali menenggelamkan
kesedihan itu. Hanya terdengar riuh suara gemuruh mesin mobil yang hilir mudik
di persimpangan rel kereta api. Aku dan ririn masih dalam posisi seperti biasa.
“brig…!” suaranya terdengar pelan di
telingaku. Memecahkan keheningan ini
“gue cinta loe.” Hatiku berdebar
mendengar kalimat lirih itu
Dia merogoh saku celananya yang
panjangnya hanya menutupi lutut. Tampaknya ada sesuatu yang akan diperlihatkan
kepadaku.
Dia meraih tangan kiriku. Sementara
tangan kananku masih di bahunya.
“ini sebgai bukti kalau gue sayang sama
loe. Gue butuh loe.” Benar dugaanku, dia memberikan aku sesuatu yang pasti bagi
orang lain tidak ada harganya. Tapi bagi aku, ini adalah symbol cinta abadi,
symbol kestiaan kita dan symbol kesiapan kita untuk hidup bersama baik suka
maupun duka.
Aku terima dengan penuh kebahagiaan. Aku
pegang tangkainya yang sudah melayu. Aku pandangi bulatan hijau yang dipenuhi
putik putih yang sudah rontok. Ya, walau hanya setangkai kembang pete. Tapi ini
membuatku sangat bahagia.
“gue juga sayang sama loe rin.
Terimakasih rin.” Aku cium kembang itu.
“brig..”
suaranya terdengar lirih. Aku pandangi dia dari sisi kananku. Air mata di
pipinya tampak mengering.
“iya rin”
sahut aku.
“jangan
loe lepaskan genggaman ini saat loe lelah melawan hidup ini. Jangan lepas
genggaman ini
saat loe
menemukan kebahagiaan dan jangan
loe lepas genggaan ini saat kaki gue gak mampu lagi menapaki hidup ini.” Kembali, mendung menyelimuti hatinya. Dia menundukan kepalanya. Air
matanya menetes membasahi ujung sandal jepitnya.
“Cinta
ini akan menguatkan Loe
dan gue.
Cinta ini akan selalu memberi energy kepada kita. Biarkan negeri ini dengan
congkak menggilas hidup kita. Tapi ingat! Cinta kita kuat dan akan menguatkan
kaki kita berdua. Percayalah! Apa
pun yang terjadi, gue pasti ada buat loe. Kita akan bersama menapaki hidup
ini.” Aku berusaha mayakinkan hati ririn.
“dan jika nafasku terhenti, lepaslah
genggamanku, biarkan aku bahagia bersama ayahku di sana. Dan usah kau hentikan
langkah kakimu. Teruslah berjalan. Langkah kecilmu lebih berharga dari
rencanamu.” Daaaarrrr...!!! tersentak hatiku. Gemetar sekujur tubuh. Bibirku
sulit bergerak untuk sekedar membalas kalimatnya. Tiba-tiba
“wiuwiu…wiuwiu...” suara sirine mobil
satpol PP yang berhenti di pinggir jalan depan lampu merah. Pengamen dan
pengemis berlarian kesana kemari. Seorang anak kecil yang kusam dengan kotak
semir sepatunya menangis histeris di gendongan satpol PP. terlihat sahabat kecilku dodi diangkut paksa ke
mobil,ia tak sempat menyelamatkan uang recehnya yang berhamburan keluar dari
kantong celananya yang kusut
dan lusuh hampir-hampir
warna aslinya tertutup oleh tebalnya debu. Seorang bapak berumuran 65 tahun
tampak beradu mulut dengan petugas satpol PP, tak terima gerobak dan barang
dagangannya diangkut petugas Satpol PP. di hadapan gerobak anak kecil yang
hanya telanjang dada menangis dalam pelukkan ibunya tampaknya mereka adalah
anak dan isterinya bapak tua itu. Hiruk pikuk kebisingan kota tenggelam oleh
keributan dan tangisan para pedagang kaki lima yang sengaja mengais rejeki di
atas trotoar di pinggiran keramaian kota.
Aku eratkan genggaman tangan ririn sementara tangan kiriku masih erat menggenggam setangkai
kembang pete, tanpa banyak bicara aku langsung menarik tangan
ririn untuk menghindar dari kejaran Satpol PP.
“Ayok rin! Kita lari lewat sini!” kita lari sejadi-jadinya. Jarak sekitar 500 M, tiba-tiba
ririn menghentikan langkah kakinya. Dan menarik tangan kananku, memaksaku untuk
berhenti.
“eehh..ehh! bentar..bentaarr!” tampaknya
ada sesuatu yang tertinggal.
“ada apa rin?” tanyaku penasaran. Ririn
balik menggegam erat jemariku dan menarik tanganku.
“gitar kita ketinggalan di tempat tadi.”
jawab ririn tergesa-gesa. Ya! Gitar
itu
yang menjadi sumber rejeki aku dan ririn, maka bukan hal yang aneh kalo gitar
adalah bagian dari hidup aku dan ririn. Kita pun berlari menghampiri tempat
yang tadi. Belum sampai di tempat yang dituju, ririn mendadak menghentikan
langkah kakinya, aku pun berhenti dan bertanya.
“ada apa rin?” seakan aku dibuat
penasaran lagi.
Ririn hanya bisa menjawab dengan tatapan
yang tajam dan mengarahkan telunjukknya kea rah tempat semula aku dan ririn
duduk. Mataku penasaran dan mengikuti arah jari telunjuk ririn. …..
Teeeggg! Dadaku terasa sesak, denyut
nadiku berdetup kencang. Seakan malaikat sedang sediki-sedikit mencabut
nyawaku. Tak aku rasa air mata mengalir di kedua pipiku. Aku tatap ririn yang
masih menatap tajam menangkap sesuatu
di tempat duduk semula. Terlihat air mata ririn pun bercucuran.
Gitar itu dibanting-banting tanpa ampun
oleh satpol PP. tak puas di situ, mereka menginjak-injak dan membakar gitarku.
Tampaknya Satpol PP melihat kita berdua
dan berlari kerah aku dan ririn. Tak banyak yang aku lakukan lagi, aku langsung
menarik tangan ririn yang masih di genggamanku. Aku lari sekencang mungkin. Aku
ga menghiraukan orang-orang yang lewat di hadapanku. Yang ada di pikiranku
adalah selamat dari kejaran Satpol PP. aku terobos zebracrose ga peduli lampu
lalulintas menyala hijau, ririn berlalri di belakangku. Genggaman tanganku
semakin aku eratkan dan….
“tiiiiiiitttt…tiiiittt…” suara klakson
motor mengagetkanku. Aku berhenti, takku sadar genggaman tengan ririn sudah
lepas dari tanganku. Aku memalingkan wajahku, mataku mecari sumber suara itu.
Dan ternyata…
“Ririiiinn…!!” teriakku dari jarak 100 M.
Tak berbuat banyak lagi, aku langsung
berbalik arah. Terlihat tiga
satpol PP berlari menuju kejadian itu. Seketika, aku hentikan langkah kakiku. Aku
berhenti tepat di atas trotoar. Aku dibuat kebingungan oleh kejadian itu.
Batinku bergejolak sangat hebat. Sekujur tubuhku bergetar melihat ririn
bersimpah darah digotong oleh dua satpol PP dan dibantu warga sekitar.
Aku palingkan
pandanganku ke arah Satpol PP. Terlihat salah seorang dari tiga Satpol PP
membalas tatapanku dengan tatapan yang tajam. Aku balik arah dan lari mencari
persembunyian.
Aku amati
terus kejadian itu dari balik tembok sisa reruntuhan bangunan yang digusur.
Terlihat dari kejauhan, tubuh ririn yang masih bersimpah darah digotong warga
sekitar ke mobil angkutan kota.
5 menit
kemdian.
Dirasa cukup aman dan Satpol PP pun tidak ada
lagi di tempat kejadian, aku langsung keluar dari balik tembok dan berlari
menuju bekas kejadian itu. Zebracrose masih terlihat merah bekas darah ririn
yang masih segar.
Aku tengok
kanan kiri mencari
tukag ojeg yang ada di sekitar daerah itu. Tanpa harus menunggu
lama, motor tua berhenti tepat di depanku.
“ojeg bang!” tanpa basa-basi tukang ojeg
menwarkan diri.
“iya bang. Tolong anterin gue ikutin
angkot merah itu.” Aku acungkan telunjukku ke arah angkot merah yang bernomor B
1270 GH yang membawa riri.
Tanpa penjelasan dariku lagi, tukang
ojeg itu langsung tancap gas.
*** *** ***
30 menit kemudian.
Angkot merah itu berhenti di depan Rumah
Sakit Bhakti Asih. Tanpa aba-aba dariku tukang ojeg menghentikan laju motornya
dan mematikan mesinnya tepat di depan gerbang Rumah Sakit. Aku sodorkan uang
receh hasil mengamen dari saku celanaku untuk membayar ojeg.
Tanpa aku hitung berpa receh itu, aku
percepat langkah kakiku kearah ririn yang sudah masuk di gedung rumah sakit. Perasaanku
terus diliputi rasa kehawatiran yang sangat hebat. Jantungku berdetak tidak
beramturan. Ujung kaki dan tanganku gemeteran sesekali aku cium kembang pete
yang masih di genggaman tangan kananku. Air mataku membanjiri kedua kelopak
mata. Aku terus mengikuti dari belakang, hawatir barangkali Satpol PP ada di
sekitar ririn. Aku fokuskan pandanganku ke arah ririn tanpa aku hiraukan orang
hilir mudik orang di depanku. Dan…
Braaakkkk….!! Aku menabrak seorang
kakek-kakek yang sedang dituntun anaknya di atas kursi roda.
“mmam maa..maaf pak!” suaraku gagap. Aku
jadi pusat pandangan pengunjung rumah sakit. Mungkin karena gaya diriku yang
kelihatan aneh. Dari cara berpakaianku yang tak lazim dan agak kotor ditambah
gaya rambutku yang agak panjang dan gak rapih.
Aku kehilangan jejak ririn. Mataku terus
mencari kesana-kemari, tidak ada tanda-tanda ririn di sana. Aku terus mencari
dan ternyata ririn sudah di pintu ruang UGD. Aku tengok kesegala arah, depan,
kanan, belakang dan kiri memastikan tidak ada Satpol PP di sini. Aku memaksakan
diri membuka pintu UGD dan…
“maaf pak, bapak belum diperbolehkan
masuk diruang ini.” Tegur salah seorang suster padaku dengan muka ramah.
*** *** ***
Satu setengah jam kemudian.
“loe udah bangun rin.” Aku langsung usap
air mataku yang menggaris di pipi. Sedikit bisa bernafas lega, Tuhan masih
memberiku kesempatan untuk hidup bersama ririn.
“gue ada di mana brig? apakah kita kena
razia Satpol PP?” ia tak sadar apa yang telah terjadi pada dirinya. Tampaknya
dia masih di liputi rasa keahawatiran yang sangat hebat. Matanya mengamati
sesuatu di sekelilingnya, memastikan kalau dia benar-benar tidak tertangkap
Satpol PP. ada yang sedikit aneh dengan tatapannya. Dia penasaran dengan tempat
ini.
“loe ada di rumah sakit rin. Tenang aja
rin kita aman dari kejaran satpol PP.”
Dia kaget bukan kepalang. Aku tak tahu
apa yang membuatnya seperti dihantam suara bom. Dia beranjak dari posisi semula
dan menghadapkan mukanya di depanku.
“kenapa gue ada di sini?” suaranya
sedikit lantang. Tampaknya ada sesuatu yang membuatnya tak suka berada di rumah
sakit.
“loe tadi ketabrak motor dan kepala loe
membentur trotoar.” Dengan polos, aku menjelaskan perihal kejadian tersebut.
Dia langsun beranjak dari posisi
duduknya. Kedua kakinya ia trunkan di lantai.
“aauuww…! Sakit.” Suaranya
membuyarkanku. Aku segera beranjak memegang kedua pundak ririn sekedar untuk mencagah
agar dia tidak menurunkan kedua kakinya yang dililit perball.
“gue mau keluar dari sini, gue ga mau di sini.” Dia tampaknya memendam sesuatu.
“tenang rin,
nanti kalau loe udah mendingan, gue bawa loe pulang.”
“ga, gue tetep
mau keluar dari sini sekarang, kalau loe ga bantu gue, gue mau maksain diri
berjalan.”
“rin, loe
kenapa sih?” nadaku meninggi membentak ririn. Entah kenapa tiba-tiba air
matanya meleleh membasahi pipinya. Tampaknya ada sesuatu yang ingin di
ceritakan kepadaku. Aku dekap dia dan mengelus-elus punggungnya. Air matanya
deras tak terbendung lagi.
“maafin gue,
rin.” Ucapku dengan nada pelan.
“gue gak mau
di sini brig.” Kalimatnya terbata-bata kurang begitu jelas.
“gue teringat
almarhum bokap gue. Sebelum bokap gue meninggal karena kena reruntuhan
bangunan, bokap gue sempet dilarikan ke rumah sakit ini. Tapi apa yang
terjadi?” dia sesenggukan tak sanggup melanjutkan kalimatnya. Bara api membakar
hatinya memingat masa kelam 12 tahun yang lalu. Dia menutupi mukanya dengan
kedua telapak tangannya, berusaha membendung rasa perih di hati.
“bokap gue ga
dapet penangan yang serius Cuma gara-gara gak mampu menanggung biaya pengobatan
dan akhirnya bokap gueee.” Air matanya terus menggenangi kedua kelopak matanya
membasahi jari-jari lentiknya. Aku eratkan dekapanku. Aku tenangkan dirinya.
“bokap gue
meninggal.” Air matanya semakin deras mengguyur sekujur jiwaku. Aku coba
menahan air mataku agar tak tumpah di adapan ririn, tapi jiwaku semakin
tenggelam oleh kesedihan ririn, tak sadar, air mata meggenangi kelopak mataku
dan menggaris deras di kedua pipiku.
“jadi, aku
mohon sama loe. Keluarin gue dari sini dan pulangkan gue ke kakek gue. Kalau pun gue harus pulag
ke bokap gue, gue rela.” Duuaarrr....!! kalimat itu menyambar secepat kilat ke
jiwaku. Hujan petir mambasahi jiwaku. Dadaku berdetak kencang. Urat-uratku
seakan terlepas dari tubuhku. Dekapanku semakin kecang. Sebentar, aku
mengalihkan posisi ririn ke atas kedua lenganku untuk menggotongnya.
“oke rin, gue
bawa loe pulang.” Tak berbuat banyak lagi, aku langsung menggotong ririn keluar
dari ruangan. Mataku terus memandangi wajah ririn. Aku cepatkan langkahkakiku.
Sampai di depan pintu...
“inna
lillahiii...” tersentak kaget suster yang membawa makanan untuk pasien.
Hampir-hampir aku menabraknya. Tampaknya ia merasa aneh memandangku. Aku tak
hiraukan suster itu. Aku terus mempercepatka langkah kakiku.
Tepat di pintu
gerbang rumah sakit.
“peculik...penculikk...penculik.”
suara itu terdengar dari arah pintu rumah sakit. Aku hentikan langkahku. Aku
palingkan wajahku ke sumber suara itu.
“penculik...penculik...penculik..”
ternyata suster yang tadi, yang hampir aku tabrak. Tampaknya tadi membawa makan
untuk ririn. Suara dan telunjuknya mengarah kepadaku. Sontak, pengunjung rumah
sakit berhamburan keluar. Scurity yang berada di pos dekat parkiran, bergegas
ke arahku. Tanpa memberikan aba-aba kepada ririn, aku eratkan kedua lenganku
melingkari tubuh ririn. Aku lari sejadi-jadinya. Aku mempercepatkan langkahku.
Tak hiraukan orang yang berlalu lalang di hadapanku. Aku terus berlari,
sesekali aku palingkan wajahku ke belakang memastikan jarak scurity dan aku.
Semakin lama ke dua lenganku merasakan amat berat dan lemah menopang tubuh
ririn. Aku terus berkali-kali mencoba eratkan kembali lenganku yang sudah
lemah. Langkah kakiku semakin lemah. Nafasku tak beraturan. Detak jantungku
semakin keras. Aku berusaha kuatkan diri dan mempercepatkan langkah kakiku. Aku
tengok kebelakang, dua scurity terus berlari mengejarku. Aku turun dari trotoar
dan mencoba menyebrang jalan. Lalu lalang kendaraan menutupi pandangan ke arah seberang jalan
yang
aku tuju. Aku memaksakan diri menyebrangi jalan yang ramai lalu-lalang
kendaraan. Tepat di posisi tengah-tengah jalan raya. tampak terlihat oplet tua
dari arah samping kananku. Dan…
Duuaaarrr…..!! INNALILLAHI WA INNA
ILAIHI ROJIUN.
THE END