“Konstaninopel
akan jatuh ke tangan Islam. Pemimpin yang menaklukannya adalah sebaik-baiknya
pemimpin dan pasukan yang dibawah komandonya adalah sebai-baiknya pasukan.”
(H.R Ahmad bin Hanbal Al-Musnad)
Mungkin sebagian
kita belum mengeal siapa Al-Fatih, yang bernama asli Muhammad bin Murad II.
Al-fatih adalah nama julukan beliau yang berarti “sang penakluk”. Beliau
mendapat julukan tersebut setelah usahanya berhasil menaklkan kekaisaran Romawi
Timur atau Bizantium yang berada di kota Kostantinopel, sekarang Istanbul,
Turki. Pada waktu itu usianya masih tergolong muda yaitu umur 21 tahun, bahkan
sebelumnya beliau sempat menjadi pemimpin di usia yang tergolong masih belia
yaitu umur 12 tahun. Tapi karena instabilitas politik pada masa itu, terpaksa
ayahnya, Sultan Murad II kembali memimpin.
Sultan Muhammad
Al-Fatih lahir pada tanggal 20 April 1429 bertepatan dengan tanggal 28 Rajab
833 H. Ketika masih kecil, Muhammad Al-Fatih tidak terlalu menonjol dalam
pendidikan. Dia bahkan termasuk anak yang manja dan malas belajar. Namun,
setelah ayahnya menghadirkan seorang ulama Kurdi, yaitu syeh Ahmad bin Isma’il
al-Kurani, sebagai gurunya, Muhammad Al-fatih mulai belajar dengan serius.
Selain dengan Syekh Muhammad Al-kurani, ia juga belajar kepada Syeh ibnu Attamjid,
Syeh Khairuddin, Syekh Syamsudin al-Halabi, dan beberapa ulama lainnya.
Menjenjelang
remaja, seoarang Syeh lagi menadi gurunya. Dia adalah syeh Syamsudin. Nama yang
terahir ini dan syeh Ahmad al-Kurani kemudian menjadi dua orang guru yang paling
berpengaruh dan dipercaya oleh sultan Muhammad Al-fatih. Dari mereka Al-fatih
belajar ilmu pengetahuan seperti ilmu agama, bahasa, keterampilan fisik,
geografi, falak dan sejarah dalam suatu riwayat dikataan beliau menguasai 6
bahasa, dikatakan pula 7 bahasa.
Dalam usahanya
menaklukan kota Kostantinopel, beliau hanya memilih prajurit-prajurit yang taat
beribadah bahkan sebagian di antara mereka tidak pernah meninggalakan sholat
tahajjud.bahkan beliau sendiri pun selalu merutinkan dan tidak pernah
meninggalkan sholat tahajjud, diriwayatkan lagi, beliau tidak pernah
meninggalkan sholat sunnah rawatib.
Pelajaran yang
bisa kita petik dari keberhasilan Al-fatih menaklukan kostantinopel. Bahwa
semestinya kita selaku santri, pelajar atau mahasiswa menjadi orang yang visioner
mempunyai cita-cita yang tinggi dan mempunyai rencana-rencana yang jelas.
Kita lihat
kembali proses keberhasilan Al-fatih, diantaranya mencerdaskan IQ –nya melalui
jalan mendalami ilmu pengetahuan dari guru-guru yang berkompeten dan beliau
juga sangat dekat dengan ulama pada masa itu. Juga tidak kalah pentingnya dan
ini yang paling utama dalam proses meraih impian, mencerdaskan SQ-nya dengan
jalan mendekatkan diri pada yang Maha Besar. Beliau selalu merutinkan qiyamul
lail atau sholat tahajud.
Impian besar,
semistinya kita meminta kepada Yang Maha Besar pula. Karena tidak mustahil jika
Yang Maha Besar sudah menghendaki hal-hal yang menurut kita tidak logis pun
akan terjadi. Kita sering dibuat hawatir oleh pikiran kita sendiri dengan memprediksi
hal-hal yang belum tentu terjadi, karenanya untuk bermimpi atau membangun
sebuah harapan yang besar pun terkadang enggan untuk memilikinya, hal seperti
inilah yang membuat kita tidak percaya pada diri sendiri dan kurang yakin akan
kebesaran Allah, dari sinilah kenapa pribahasa arab mengatakan bahwa “cita-cita yang tinggi sebagian dari iman”.
Memiliki impian besar sama halnya kita percaya kepad keMaha Besaran Allah. Maka
dari itu, untuk mengatasi rasa psimis atas impian-impian yang sudah dirancang
dan arah dan tujuannya sudah jelas perlu adanya sikap tawakal, menyerahkan
seluruhnya kepada Allah.
Tawakal bukan
berari kita memasrahkan urusan/impian-impian kita kepada Allah tanpa jalan
usaha dari kita. Usaha sudah menjadi kewajiban setiap manusia ada pun hasil
usaha adalah hak Allah semata.
Afirmasi dan doa
kemudia diselaraskan dengan perilaku adalah salah satu wujud dari kita
memantaskan diri untuk menerima apa yang kita harapkan kepada Allah. Impian
bukan soal keinginan semata yang dipanjatkan kepada Allah, akan tetapi soal
seberapa pantas kita menerima hasil dari impian kita yang dipanjatkan kepada
Allah. Tentunya hal ini harus selaras dengan perilaku kita.
Semoga sedikit coretan
ini bermanfaat bagi pembaca.
Cirebon, 15 Oktober 2015
Oleh: Irfa’i Al-fatih