Jumat, 16 Oktober 2015

Di Balik Keberhasilan Sultan Muhammad Al-fatih

“Konstaninopel akan jatuh ke tangan Islam. Pemimpin yang menaklukannya adalah sebaik-baiknya pemimpin dan pasukan yang dibawah komandonya adalah sebai-baiknya pasukan.”

 (H.R Ahmad bin Hanbal Al-Musnad)


    


Mungkin sebagian kita belum mengeal siapa Al-Fatih, yang bernama asli Muhammad bin Murad II. Al-fatih adalah nama julukan beliau yang berarti “sang penakluk”. Beliau mendapat julukan tersebut setelah usahanya berhasil menaklkan kekaisaran Romawi Timur atau Bizantium yang berada di kota Kostantinopel, sekarang Istanbul, Turki. Pada waktu itu usianya masih tergolong muda yaitu umur 21 tahun, bahkan sebelumnya beliau sempat menjadi pemimpin di usia yang tergolong masih belia yaitu umur 12 tahun. Tapi karena instabilitas politik pada masa itu, terpaksa ayahnya, Sultan Murad II kembali memimpin.
Sultan Muhammad Al-Fatih lahir pada tanggal 20 April 1429 bertepatan dengan tanggal 28 Rajab 833 H. Ketika masih kecil, Muhammad Al-Fatih tidak terlalu menonjol dalam pendidikan. Dia bahkan termasuk anak yang manja dan malas belajar. Namun, setelah ayahnya menghadirkan seorang ulama Kurdi, yaitu syeh Ahmad bin Isma’il al-Kurani, sebagai gurunya, Muhammad Al-fatih mulai belajar dengan serius. Selain dengan Syekh Muhammad Al-kurani, ia juga belajar kepada Syeh ibnu Attamjid, Syeh Khairuddin, Syekh Syamsudin al-Halabi, dan beberapa ulama lainnya.
Menjenjelang remaja, seoarang Syeh lagi menadi gurunya. Dia adalah syeh Syamsudin. Nama yang terahir ini dan syeh Ahmad al-Kurani kemudian menjadi dua orang guru yang paling berpengaruh dan dipercaya oleh sultan Muhammad Al-fatih. Dari mereka Al-fatih belajar ilmu pengetahuan seperti ilmu agama, bahasa, keterampilan fisik, geografi, falak dan sejarah dalam suatu riwayat dikataan beliau menguasai 6 bahasa, dikatakan pula 7 bahasa.
Dalam usahanya menaklukan kota Kostantinopel, beliau hanya memilih prajurit-prajurit yang taat beribadah bahkan sebagian di antara mereka tidak pernah meninggalakan sholat tahajjud.bahkan beliau sendiri pun selalu merutinkan dan tidak pernah meninggalkan sholat tahajjud, diriwayatkan lagi, beliau tidak pernah meninggalkan sholat sunnah rawatib.
Pelajaran yang bisa kita petik dari keberhasilan Al-fatih menaklukan kostantinopel. Bahwa semestinya kita selaku santri, pelajar atau mahasiswa menjadi orang yang visioner mempunyai cita-cita yang tinggi dan mempunyai rencana-rencana yang jelas.
Kita lihat kembali proses keberhasilan Al-fatih, diantaranya mencerdaskan IQ –nya melalui jalan mendalami ilmu pengetahuan dari guru-guru yang berkompeten dan beliau juga sangat dekat dengan ulama pada masa itu. Juga tidak kalah pentingnya dan ini yang paling utama dalam proses meraih impian, mencerdaskan SQ-nya dengan jalan mendekatkan diri pada yang Maha Besar. Beliau selalu merutinkan qiyamul lail atau sholat tahajud.
Impian besar, semistinya kita meminta kepada Yang Maha Besar pula. Karena tidak mustahil jika Yang Maha Besar sudah menghendaki hal-hal yang menurut kita tidak logis pun akan terjadi. Kita sering dibuat hawatir oleh pikiran kita sendiri dengan memprediksi hal-hal yang belum tentu terjadi, karenanya untuk bermimpi atau membangun sebuah harapan yang besar pun terkadang enggan untuk memilikinya, hal seperti inilah yang membuat kita tidak percaya pada diri sendiri dan kurang yakin akan kebesaran Allah, dari sinilah kenapa pribahasa arab mengatakan bahwa “cita-cita yang tinggi sebagian dari iman”. Memiliki impian besar sama halnya kita percaya kepad keMaha Besaran Allah. Maka dari itu, untuk mengatasi rasa psimis atas impian-impian yang sudah dirancang dan arah dan tujuannya sudah jelas perlu adanya sikap tawakal, menyerahkan seluruhnya kepada Allah.
Tawakal bukan berari kita memasrahkan urusan/impian-impian kita kepada Allah tanpa jalan usaha dari kita. Usaha sudah menjadi kewajiban setiap manusia ada pun hasil usaha adalah hak Allah semata.
Afirmasi dan doa kemudia diselaraskan dengan perilaku adalah salah satu wujud dari kita memantaskan diri untuk menerima apa yang kita harapkan kepada Allah. Impian bukan soal keinginan semata yang dipanjatkan kepada Allah, akan tetapi soal seberapa pantas kita menerima hasil dari impian kita yang dipanjatkan kepada Allah. Tentunya hal ini harus selaras dengan perilaku kita.
Semoga sedikit coretan ini bermanfaat bagi pembaca.





Cirebon, 15 Oktober 2015
Oleh: Irfa’i Al-fatih